“Yey, Mama aku lulus. Lihat! Nilaiku tinggikan, Ma?” ujar salah satu teman Tari yang bernama Lisa.
“Iya, nilai kamu tinggi, sayang. Mama bangga sama kamu!” ujar Mama Lisa saat melihat rapor anaknya.
Tari belum juga disebutkan namanya. Ia khawatir kalau dirinya tidak lulus, tandanya ia akan dimarahi habis-habisan jika hal itu terjadi. Kenapa Mama belum datang? ujarnya dalam hati sambil melihat pintu aula yang tertutup rapat. Tidak ada tanda-tanda seseorang yang akan membukanya.
“Peringkat kedua dengan nilai 99,20, Mentari Putri Erlangga,” ujar Kepala Sekolah.
Tari yang mendengar pengumuman tersebut terperanjat mendengar dirinya yang meraih juara dua. Pasti karena ini, Mamanya tidak hadir di acara penamatannya hari ini. Ia berjalan dengan wajah ditundukkan ke bawah. Saat menerima rapornya ia hanya tersenyum sekenanya.
Setelah ke depan podium, guru-guru memperhatikannya, “Tari, orang tua kamu dimana?” ujar Kepala Sekolah.
“Belum datang, Pak,” ujar Tari dengan nada lesu. Dari tadi, ia selalu melihat ke arah pintu, namun Mamanya tidak kunjung datang. Padahal, tadi malam, ia sudah memberikan undangan dari sekolah untuk menghadiri acara penamatannya. Ia juga mengingatkan kembali Mamanya saat ia diantar ke sekolah. Akan tetapi, ternyata Mamanya tidak datang juga hari ini.
###
“Eh, Itu Tari. Meskipun sudah belajar dengan giat, tapi nilainya masih kalah tinggi sama Renata, terus Mamanya enggak datang lagi. Kasian, ya. Dia enggak disayang,” ujar Lisa temannya yang selalu mengompori teman-teman lainnya saat melihat Tari.
“Iya, ya. Apalagi, dia juga enggak punya Papa, kan?” tambah temannya yang lain.
“Makanya, Mamanya enggak sayang sama dia, soalnya Papanya enggak ada,” ujar Lisa lagi.
“Kasian banget! Aku enggak akan mau jadi Tari, sudah belajar keras tapi masih juara dua, ditambah enggak disayang sama Mama lagi, menyedihkan,” tambah teman lainnya lagi.
Mendengar ucapan teman-temannya membuat Tari berlari ke area parkiran. Ia menumpahkan semua air matanya di parkiran. Ia tahu, ia tidak disayang oleh Mamanya, tapi mendengar dari teman-temannya lebih menyakitkan lagi. Apalagi, saat ini Mamanya tidak datang ke acara penamatannya. Itu semakin membuktikan kalau dia tidak disayang oleh Mamanya.
Namun, ia lebih sedih ketika melihat teman-temannya didampingi oleh orang tua mereka. Orang tua teman-temannya yang lengkap, ada Papa dan Mamanya, sedangkan Tari, tidak ada siapapun yang datang.
***
“Tari! Kamu dimana?” Mama Tari pulang lebih cepat hari ini karena ia tidak sempat menjemput Tari di sekolah tadi. Ia hanya menitipkan Tari pada orang tua Tania untuk mengantar Tari sampai rumah.
Tidak ada jawaban yang diberikan Tari, sehingga membuat Mamanya agak khawatir karena ia menerima pesan dari orang tua Tania kalau Tari badannya panas dan kakinya terkilir. Ia sendiri tidak sempat menanyakan mengapa hal tersebut bisa terjadi pada anaknya, ia lebih memilih menyelesaikan pekerjaannya lalu pulang dengan cepat.
Mama Tari menaiki tangga menuju kamar Tari. Sebelumnya, ia mengetuk pintu kamar anaknya, tapi tetap tidak ada jawaban. Ia pun membuka pintunya, ia melihat anaknya tidur dengan pulas.
“Tari?” ujar Mama Tari sambil menyentuh dahi anaknya. Ia merasakan badan tari cukup panas, sehingga ia ke lantai bawah untuk mengambil alat kompres dan obat untuk Tari.
“Tari?” Tari membuka matanya perlahan, ia melihat Mamanya masih menggunakan setelan kerja. Ia jadi terharu karena Mamanya akhirnya cukup peduli padanya. “Tari, badan kamu panas sekali, Mama kompres, ya,” ujar Mama Tari yang hanya diberikan anggukan pada Tari.
“Ini juga ada bubur, nanti kamu makan, ya.” Tari lagi-lagi hanya menganggukkan kepalanya. “Apa ada lagi yang sakit?” lanjut Mamanya.
“Kakiku terkilir, Ma.”
“Besok Mama, bawakan dokter untuk memeriksa kakimu.”
“Terimakasih, Ma,” ujar Tari dengan senyum yang tulus.
“Karena kamu enggak bisa bangun, jadi gimana kalau buku-buku mu Mama bawakan ke tempat tidur? Ini semua agar kamu tetap belajar. Jadi, kamu enggak akan ketinggalan pelajaran mu meskipun lagi sakit,” ujar Mama Tari sambil menuju meja belajar Tari. Ia memilah-milah buku apa yang harus Tari pelajari hari ini.
Tari yang awalnya selalu tersenyum karena Mamanya yang terlihat khawatir, kini merasa sedih. Ia pikir, Mamanya mulai peduli padanya, ternyata Mamanya hanya peduli dengan kesembuhannya agar tetap belajar, lalu mencapai nilai sempurna. Bahkan, ia tidak pernah mendengar pertanyaan ‘kenapa ia bisa sakit’, keluar dari mulut Mamanya. Ia pun mulai berhenti berekspektasi kalau Mamanya akan peduli dan menyayanginya suatu saat nanti.
***