“Kamu itu emang enggak bisa buat Mama bangga sebentar aja, kenapa sih kamu harus peringkat dua? Selalu saja peringkat dua. Enggak pernah jadi yang pertama!” ujar Mamanya di ruang tamu.
“Maaf, Ma. Tari akan berusaha lebih keras lagi kedepannya,” ujar Tari dengan air mata yang sudah keluar karena sudah dimarahi sejak tadi.
“Kamu hanya selalu janji pada, Mama. Enggak pernah ditepati. Kapan kamu mau menepati janji? Percuma mama memberikan les setiap hari, ujung-ujungnya tetap juara kedua.”
“Tari janji, Ma. Tari janji bakalan juara pertama saat SMP nanti.”
“SMP katamu? Kamu tidak lulus di SMP yang mama daftarkan.” Mamanya tertawa miring melihat anaknya.
“Tari akan berusaha yang terbaik di sekolah, Ma,” ujarnya menunduk dalam-dalam. Ia takut melihat mamanya yang sedang murka.
“Ini menurutmu yang terbaik? Juara dua di sekolah? Enggak diterima di sekolah bergengsi, mau kamu taruh di mana muka Mama. Hah? Ini yang kamu maksud yang terbaik? Ini?” ujar Mama Tari sambil menyodorkan nilai raport Tari.
Tari semakin menundukkan kepalanya, ia tidak berani melihat mata Mamanya meski sedetik pun. Ia menyesal tidak belajar saat ada waktu, saat malam hingga pagi waktu ujian dan saat makan dan minum. Ia merasa, harusnya hidupnya hanya untuk belajar saja tidak perlu melakukan hal lainnya.
Satu hal lagi yang paling ia benci dari dirinya saat ini, ia tidak lulus pada sekolah bergengsi yang didaftarkan oleh Mamanya. Ia menyesal tidak pernah bersungguh-sungguh saat belajar, jadilah hasilnya buruk sehingga mamanya memarahinya tanpa henti.
“Kamu harus dihukum.” Tari mendongakkan kepalanya dengan mata sembab yang sudah penuh dengan air mata.
Ia tidak percaya akan mendengar ucapan mamanya yang sangat menakutkan itu. Selama ini, Mamanya hanya memarahinya jika tidak belajar, salah jawaban pada PR-nya, tidak menjawab benar pada satu nomor saat ulangan harian maupun ujian, dan menjadi peringkat dua. Tidak pernah sebelumnya Mama mengatakan akan menghukumnya, ia merasa ketakutan mendengar ucapan Mamanya. Namun, ia juga merasa bersalah karena tidak berhasil mewujudkan permintaan Mamanya. Saat ini, ia sangat membenci dirinya, sehingga lidahnya seakan keluh mendengar ucapan Mamanya.
“Sini kamu!” Mama menarik lengan Tari menuju WC, sedangkan Tari hanya menggelengkan kepalanya dan berusaha melepaskan diri.
“Kamu harus masuk di sini semalaman, agar kamu bisa introspeksi diri! Kalau Mama ingin kamu sekolah di Sekolah A, kamu harus berusaha sekolah di sana! Jangan malah keluyuran dan ditolak oleh sekolah tersebut. Jadi, kamu tinggal saja di sini!" Mama mendorong Tari masuk ke WC, tak lupa ia mengunci pintu WC agar anaknya tidak keluar. Ia sangat malu karena tidak berhasil membuat Tari bersekolah di sekolah bergengsi tersebut. Padahal, ia sering sekali membanggakan anaknya adalah anak yang pintar di sekolah.
“Enggak, Ma. Tari takut di sini, Ma. Mama! Mama! Mama!” Suara Tari pun keluar dan meraung-raung memanggil Mamanya. Ia takut berada di tempat ini.
***
Tari melalui waktu yang sulit setelah perisakan itu, teman-teman sekelasnya seakan-akan tidak melihat kehadirannya. Sehingga, ia lebih sering bersama Eki dan Ajeng. Kevin yang ia sukai dulu sudah tidak sering muncul di hadapannya. Ia juga tidak pernah berusaha berada di dekat Kevin maupun Sarah dan antek-anteknya kecuali di kelas. Jika Kevin berada didekatnya, ia meninggalkan tempat tersebut secepat mungkin.
“Sekarang kita sudah kelas XII, enggak terasa banget, ya, waktu yang sudah kita lalui. Padahal baru kemarin rasanya kita masuk sekolah,” ujar Eki sambil menyendok baksonya di kantin.
“Kamu aja yang enggak ngerasain, sedangkan aku, aku sudah pengen banget rasanya cepat-cepat lulus,” ujar Tari yang mengambil kecap lalu menuangkan kecap tersebut pada baksonya.
“Sabar, Tar. Bertahan dikit lagi, bentar lagi kita lulus,” ujar Ajeng yang menambahkan cuka pada mi ayamnya.
“Hai, aku gabung, ya?” Tania duduk di depan mereka setelah memesan makanan miliknya.
“Enggak pesan makanan atau minum, Nia?” ujar Tari.
“Udah tadi, di sana,” ujar Tania sambil menunjuk tempatnya memesan makanan. “Tari, kamu sering ikut les ujian masuk Universitas, kan?” lanjutnya.
“Iya, kenapa?”
“Boleh enggak, aku ikut lesnya? Aku enggak tahu harus les dimana dan bagus yang bisa buat aku mengerti materi-materi SBMPTN. Padahal aku mau kuliah di Universitas Indonesia”
“Nanti aku tanyakan ke Mamaku.”
“Aku juga, ya. kalau boleh,” ujar Eki.
“Aku juga, Tar! Aku harus masuk Akuntasi di UI juga,” ujar Ajeng.
“Kalau aku, maunya masuk HI, tapi nilaiku enggak cukup buat daftar SN, jadi mau belajar buat ujian SB,” ujar Tania.
“Cita-cita kamu tinggi juga, Nia,” ujar Eki yang kagum pada Tania, karena sebelumnya Tania terlihat santai saja jika urusan sekolah.
“Iya lah. Gini-gini, aku juga punya cita-cita tinggi, tahu!”
“Cita-cita tinggi, tapi enggak belajar. Aneh kamu, Tania.”
“Yah, gapapa lah, Ki. Kata orang-orangkan, bermimpilah setinggi langit!”
“Kalau sudah dilangit lalu jatuh, sakit dong?” ujar Ajeng yang dibarengi gelak tawa dari mereka.
“Btw, kalian berdua mau ambil jurusan apa nanti?” ujar Tania mengalihkan pembicaraannya.
“Aku mau ambil Pendidikan Olahraga dan Jasmani di Universitas Padjadjaran. Kalau lulus di sana, sekalian mau daftar jadi atlet basket juga,” ujar Eki.
“Kamu memang cocok di jurusan itu, Ki. Kalau kamu, dimana Tar?” tanya Ajeng pada Tari.
“Ilmu Komunikasi. Aku suka nulis, motret, membaca dan aku punya cita-cita jadi penyiar berita. Jadi, aku suka yang berhubungan dengan itu.”
“Oh, ambil Jurnalistik atau Ilmu Komunikasi di Universitas Padjadjaran, aja. Di UNPAD ada jurusan itu, Tar,” ujar Eki.
“Enggak, aku mau kuliah yang jauh.”
“Dimana? Beda pulau? Enggak, kan?” ujar Eki memberondong Tari dengan pertanyaan.
“Iya. Rencananya mau beda Pulau. Di Universitas Hasanuddin, Makassar,” ujar Tari dengan wajah semringah. Ia sudah tidak sabar berkuliah di Universitas Hasanuddin begitu pun meninggalkan kota ini.
“Kenapa enggak sekalian ke Papua kalau mau yang jauh? Makassar mah, masih dekat kali,” ujar Tania dengan nada bercanda, tapi dipelototi oleh Eki.
“Takut aku kalau disana. Lagian kan, bukannya di Indonesia bagian Timur itu, Unhas yang paling terkenal, ya? Jadi, aku mau coba ke sana. Sekalian, mau coba cari pengalaman di daerah orang yang enggak ada yang aku kenal.”
“Kata quotes-qoutes yang aku baca di postingan orang-orang, kalau kamu sudah berani untuk pergi merantau, ada luka yang berat banget mau kamu tinggalin,” ujar Tania dengan wajah sedih mengingat bagaimana dulu, ia menemukan Tari menangis kencang dengan kaki kesakitan. “Tapi, ingat, Tar, jangan betah di daerah orang. Kamu harus balik kesini lagi, agar kamu membuktikan kalau lukamu sudah sembuh. Karena aku yakin, kamu hanya butuh jeda, istirahat dengan semuanya,” lanjut Tania.
Saat mendengarkan ucapan Tania, Tari tersentuh karena ucapan Tania benar-benar seperti yang ia alami. Ia ingin pergi dari kota ini hanya untuk memperbaiki perasaannya, ia juga sangat ingin berdamai dengan luka-lukanya. Baik dari Mamanya, Kevin, Sarah beserta antek-anteknya, dan rasa insecure-nya sendiri. Ia bahkan menitikkan air matanya ketika mengingat semua yang telah ia alami di kota ini.
“Yang penting kamu jaga diri baik-baik aja disana. Kita kan enggak bakalan ada di sana untuk bantuin atau jagain kamu. Sorry banget, karena bahkan aku enggak pernah kepikiran untuk ke sana, Tar,” ujar Ajeng yang disetujui oleh kedua temannya.
“Iyalah. Aku mau memulai hidup yang baru nanti di sana.”
“Yang penting enggak ngelupain kita aja,” ujar Eki.
“Ya, itu udah pasti enggak, lah!”
Bel istirahat berbunyi, menandakan mereka akan segera berpisah degan Tari. Sekarang, mereka sudah tidak terlalu khawatir pada Sarah atau Kevin yang akan selalu merisak Tari. Mereka sudah dibungkam oleh Eki, yang tidak akan pernah Tari tahu kalau Eki telah menolongnya keluar dari situasi tersebut. Ia hanya berpikir, kalau Kevin dan Sarah beserta antek-anteknya hanya takut pada guru.
“Ingat ya, tanyain Mama kamu, kalau kamu mau kuliah ke Makassar!” ujar Tania sebelum mereka berpisah untuk masuk ke kelas masing-masing.
“Oke,” ujar Tari dengan mengangkat jempolnya.