MENTARI: Muda itu Aku

Zahratul jannah
Chapter #1

Jangan Padam

Langit itu memiliki warna yang unik, ketika malam menjadi sangat hitam legam. Sampai seorang pencuri pun tidak akan ketahuan jika sedang mencuri, sangking pekatnya. Namun langit malam akan berubah menjadi sangat cantik saat di terangi oleh sinar rembulan, seolah dewi-dewi surga sedang turun ke bumi. Menjejali tanah panas ini. Meskipun aku sendiri tidak tahu, secantik apa para bidadari itu.

Ketika pagi, langit berwarna putih persis seperti kapas karena tertutupi oleh awan. Ketika siang hari, langit membiru seperti hamparan lautan lepas. Dekat tapi jauh, begitu tampak dimataku. Lalu ketika senja, langit berubah menjadi kuning keemasan, bahkan sesekali tampak berwarna jingga. Pas! Bagaikan segelas kopi dengan takaran yang tepat. Di bagian inilah yang paling aku tunggu-tunggu dari langit. Di saat senja, lalu duduk di tepi danau sambil memikirkan kisah hidupku yang amburadul ini.

Aku pikir, itu adalah pilihan yang tepat.

"Emang kamu udah yakin, Nian?" Sekali lagi, nada ragu itu kembali mempertanyakan keputusanku yang sudah bulat. Yang sudah aku pikirkan sejak beberapa minggu yang lalu.

Aku tahu, semua Ibu di dunia ini pasti akan melakukan hal yang sama, seperti yang baru saja dilakukan oleh Ibuku. Mengkhawatirkan anaknya. Bahkan, ia sudah menanyakan pertanyaan yang sama lebih dari sepuluh kali, dalam kurun waktu tidak lebih dari satu jam. Sudah jelaskan sekarang, seberapa khawatirnya bidadari surgaku ini?

"Bu...."

Kuletakkan handuk yang hendak aku masukkan ke dalam koper milikku. Kulirik Ibuku yang sudah berdiri sekitar satu meter dari tempatku sekarang.

Aku tidak boleh emosi menjawab pertanyaan yang sudah hampir puluhan kali aku jawab dari kemarin. Aku harus sabar, dan memaklumi kekhawatirannya. Kalau aku diposisi Ibu, mungkin akan melakukan hal yang sama.

Kuraih tangannya yang mulai terlihat jelas keriput dimana-mana. Kutatap matanya untuk meyakinkan bahwa, baik jawabanku kemarin maupun hari ini, tetap sama.

"Ibu nggak usah khawatir ya? Aku yakin sama perjalanan ini. Aku yakin dengan tekadku. Ibu doain aku aja ya, supaya benar-benar bisa mewujudkan apa yang aku inginkan."

"Doa Ibu selalu untuk kamu, Nian." Ibu menepuk punggung tanganku dengan guratan di pelipisnya. Jelas, kekhawatiran itu tidak sepenuhnya hilang hanya karena kata-kataku tadi.

"Semua keperluan dan barang-barang kamu sudah siap?"

"Udah bu. Ini tinggal beberapa baju lagi yang belum aku beresin ke koper."

"Sabun, gosok gigi, shampoo, sabun cuci, obat nyamuk udh disiapin? Di sana itu nggak kayak di Jakarta semua serba ada." Ibu mengambil baju-bajuku, membantuku melipat dan memasukkannya ke dalam koper. Aku hanya melihat dan membiarkan Ibu melakukannya, semoga dengan menyibukkan diri, bisa membantu mengurangi kekhawatiran Ibu.

Lihat selengkapnya