Kalau berbicara soal mimpi, aku ini makhluk Tuhan dengan segudang mimpi-mimpi besar. Bukan main, aku bermimpi menjadi seorang dokter bedah syaraf terhebat se-Indonesia. Bermimpi menjadi seorang pengusaha tersukses sedunia, seperti Bill Gates. Bermimpi menjadi actress berbakat seperti Dian Sastro. Bermimpi menjadi seorang menteri kelautan yang hebat seperti Bu Susi Pudjiastuti, supaya aku bisa menenggelamkan kapal-kapal asing yang suka nakal mencuri hasil laut di Indonesia. Sayangkan, kalau hasil laut milik kita, malah orang asing yang menikmati.
Aku bahkan bermimpi menjadi seorang jendral perang wanita terbaik seperti Fu Hao, supaya orang-orang jahil yang mencoba merecoki tanah airku, di libas sampai tuntas. Namun kenyataannya memang selalu lebih pahit daripada jamu yang pernah aku minum. Untuk menjadi seorang penjual kue di pinggir jalan saja, aku tidak berbakat. Bakatku seolah dilumpuhkan oleh rasa malu. Apalagi bermimpi menjadi orang hebat setanah air.
Jauh langit. Luas lautan. Omong kosong!
Namun, semua pandangan itu dipatahkan dalam waktu yang tidak singkat, namun tidak lama juga oleh seorang penjual bakso. Bukan dengan fatwa yang detail, ataupun dengan dalil-dalil yang membuat bulu kudukku berdiri tegap. Hanya naesehat sederhana. Dengan kata-kata yang sederhana pula, namun sudah mampu membuatku mempertanyakan diriku sendiri.
Apa benar aku ini anak muda?
Cukup mengherankan, seorang penjual bakso mampu menebas keraguan terbesar dalam hidupku, yang bahkan dosenku pun tidak mampu melakukannya. Bagaimana caraku mengatakannya, biar kalian paham bahwa, aku bisa mewujudkan semua mimpi-mimpiku itu. Begitu, katanya.
Mang Sapri, nama yang nanti sering aku sebut-sebut. Sosok yang nanti sering kalian dengar dalam ceritaku hingga bosan. Nama yang bahkan mendengar dari jauh saja, Ibuku sudah geram bukan kepalang. Aku hanya bisa tertawa setiap kali melihat Ibu kesal, apabila aku sedang membahas tentang Mang Sapri. Aku maklumi, semua kekesalan Ibu memang cukup beralasan.
Hari itu, aku memang menunggu Mang Sapri di pangkalan tempatnya berjualan. Selain ingin mencicipi bakso buatannya, aku ingin mendengar banyak cerita dari Mang Sapri. Dia memiliki pandangan dan wawasan luas. Itulah alasan kenapa aku sering nongkrong di tempatnya berjualan. Dia juga pandai menempatkan dirinya ketika berbicara dengan anak-anak muda. Dan tahu cara berbicara tanpa membuatku merasa digurui ataupun membuatku merasa tidak hormat kepadanya. Dan juga, penuturan bahasanya sangat terpelajar, meskipun hanya seorang pendagang keliling.
Inilah alasan, kenapa aku mengagumi sosoknya.
Hari itu, sambil berjualan, Mang Sapri mengajakku mengobrol ringan. Bukan bahasan yang penting, penuh makna atau argumen-argumen membara dari seorang orator profesional yang menyemangati aku untuk membela Negara. Kami hanya membahas masalah rasa makanan terenak di dunia, walaupun pada akhirnya, dia membanggakan masakannya sendiri. Lalu membahas sinetron-sinetron, yang sangat populer di era 90-an. Seperti tersanjung—kenapa Roby tidak membantah ayahnya lalu menikahi Indah yang sudah mengandung anak mereka. Hingga membahas lagu-lagu dari penyanyi legendaris—Iwan Fals yang kebanyakan mengkritik para politikus.
Kami memiliki selera yang sama. Itulah kenapa, sedikit besarnya, aku dan Mang Sapri bisa mengobrol dengan leluasa. Dan perihal penyanyi legendaris— Iwan Fals, oh jelas, aku ini juga salah satu penggemar beratnya.
"Lagu itu dia keluarkan di tahun 1991." Mang Sapri meletakkan segelas air putih di depanku. "Kamu tahu Ri? Pada saat itu, rakyat tidak diberi kebebasan untuk berpendapat, karena pemimpinnya keras. Persis seperti robot, Indonesia pernah melalui masa suram itu."
"Ngeri ya, Mang?" Aku bergindik ngeri membayangkan seberapa berat hidup di masa itu.
"Mang Sapri tidak tahu, tetapi rakyat Timor Leste dan Papua, bisa menjadi saksinya." Begitu katanya.
Menggantung begitu saja, tidak ada bahasan lebih lanjut lagi mengenai masa orde baru, yang entah kenapa menjadi sangat menarik untuk di dengar.
Aku sangat penasaran, mengingat betapa krisisnya Negara kita saat ini, yang hampir sama mungkin dengan masa-masa orde baru dulu, tapi Mang Sapri tidak tahu maksudku. Aku berharap dia melanjutkan ceritanya, namun tidak, sekali lagi Mang Sapri tidak bisa membaca isi pikiranku saat itu, yang benar-benar menikmati ceritanya. Menginginkannya membahas lebih dalam, apalagi soal Timor Leste dan Papua pada jaman itu.
Aku menyantap bakso terakhir di dalam mangkokku, meneguk sisa air putih dalam gelas yang hanya tersisa seperempatnya saja. Lalu mengelap bibirku.