Tidak perlu muluk-muluk, menggali angan-angan setinggi langit yang tak punya ujung ini. Pada kenyataannya, aku hanya seorang sarjana pengangguran. Bukan sarjana yang lulus dari universitas langsung menjabat sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil, bukan juga seorang manager di perusahaan ternama, ataupun sebagai pejabat Negara dengan kedudukan tertinggi. Yang aku inginkan sederhana saja, aku bisa membawa sedikit perubahan yang bermakna untuk bumi pertiwi ini. Seperti nasehat Mang Sapri.
Karena itu, aku memilih petualangan hebat ini.
Nanti, akan aku ceritakan lagi tentang aku dan Mang Sapri, tentang kalimat-kalimatnya, dan tentang harapan-harapannya. Namun saat ini, biarkan aku menyelesaikan perjalananku.
"Benar, kamu nggak mau ditemenin sama Mas?"
"Enggak usah Mas. Aku bisa sendiri kok."
Itu Mas Agra. Abangku, kakak laki-lakiku, Mas-ku. Terserah kalian menyebutnya apa, yang jelas dia saudara laki-lakiku. Tahun ini usianya baru menginjak 28 tahun. Masih cukup muda, mapan alias sudah memiliki penghasilan sendiri, dan yang terpenting dia masih single. Cocok untuk kalian gaet sebagai pendamping hidup.
Tetapi jangan berekspektasi terlalu tinggi dan membayangkannya dengan proporsi yang sempurna. Percaya, dia tidak sekeren itu. Postur tubuh Mas Agra tidak sebagus Darius Sinathrya, atau minimal sekelas Christian Sugiono. Jauh, apalagi wajahnya yang pas-pasan dimataku. Namun dimata perempuan lain, ganteng katanya, agak mirip dengan struktur wajah Rio Dewanto. Kumisnya, janggutnya, gaya rambutnya hampir mirip.
Aku pikir, mereka sudah salah menilai. Kalau Mas Agra seganteng yang mereka katakan, tentu saja sekarang dia sudah tidak sendiri lagi, sudah menikah, atau minimal sudah punya calon istri. Tapi kenyataan, memang lebih ngeri daripada fakta.
Hehehe.
Selain bekerja di perusahaan, Mas Agra itu punya bisnis kecil-kecilan-studio fotografi, yang dia bangun sekitar enam tahun yang lalu. Alhamdulillah sekarang usahanya sudah cukup berkembang. Banyak job, dan beberapa kali sempat bekerja sama dengan artis seperti Titi Kamal, Luna Maya dan masih ada beberapa orang lainnya, aku tidak tahu persis.
Aku salut dengan Mas Agra, fotografi tidak hanya sekedar hobby baginya, tapi dia jadikan sebagai sumber penghasilan tambahan. Patut untuk di contoh, kalau mau mengembangkan hobby, yang menghasilkan jangan malah membuang-buang uang.
"Kamu yakin?" Mas Agra menyerahkan koper milikku. Sebentar lagi aku harus check in, Mas Agra, Ibu dan Bapak hanya bisa mengantarku sampai di lobi saja. Selanjutnya, aku yang akan melakukannya sendiri, membawa barang-barangku, check in, lalu menunggu di boarding room.
Aku menggangguk. "Yakin Mas."
Mas Agra masih belum menyerah. Dia masih tetap menawarkan diri untuk menemani perjalananku. "Mas bisa nemenin kamu Dek, kalau kamu mau."
Aku tersenyum melihat guratan di wajah Mas Agra. Aku tahu, dia sedang mengkhawatirkanku.
"Mas, Nian bukan anak kecil lagi, yang harus ditemani."
"Beneran?"
Aku menggangguk mantap. Aku tahu Mas Agra cukup perhatian padaku, dan kalau saja aku bilang, aku takut pergi sendirian ke Sumba. Aku yakin, dia akan meninggalkan seluruh pekerjaannya hanya untuk menemaniku. Tapi tidak, ini adalah perjalananku, tantangan hidupku, dan aku harus menyelesaikannya sendiri.
"Niannya Mas bukan anak kecil lagi ternyata."
Jangan heran, Nian adalah nama kecilku yang diberikan Mas Agra. Tidak hanya satu, aku memiliki banyak nama panggilan, mulai dari Mentari, Tari, Kara, Nian, Ara. Aku membebaskan orang-orang ingin memanggilku dengan sebuatan apa, selama sebutan itu masih bagian dari namaku, Mentari Karanian.
"Mas jadi sedih." Mas Agra memeluk dan mengelus kepalaku.
Aku tertawa, melihatnya berlagak sedih. Setahuku, dia itu paling anti berwajah sedih, selalu serius dan jarang bercanda. Tapi hari ini, aku melihat ekspresi lain di wajahnya.