Hendrawan, selaku kepala sekolah di SMA Nusantara segera turun tangan untuk mengatasi kasus siswa siswinya. Ia terkejut saat melihat Mentari duduk sambil menundukkan kepala di depan Ibu Annisa.
“Kamu Mentari, kan? Anak dari Gandhi?” tanya Hendrawan. Mentari terus menunduk.
“Oke jelaskan kepada saya secara gamblang, sebenarnya apa yang telah terjadi sehingga kamu duduk di ruangan ini?” tanya Hendrawan dengan amat bijaksana. Mentari tak mampu berkata apapun. Tangannya gemetar dengan mata berkaca-kaca.
“Begini, Pak. Salah satu siswi kami telah kehilangan ponsel. Setelah kami periksa ternyata ponsel itu berada di dalam tas Mentari sementara Mentari tidak mengaku telah mengambil ponsel itu, Pak.” Jelas Bu Annisa, bantu menjawab pertanyaan yang di lontarkan Hendrawan kepada Mentari. Hendrawan mengamati siswi yang duduk menunduk didepannya.
Selang beberapa menit kemudian, Hendrawan memberikan keputusan yang bijaksana kepada Mentari.
“Baiklah, Mentari. Saya akan memberikan satu kesempatan kepada kamu untuk membuktikan bahwa kamu tidak bersalah pada kasus ini! Dalam waktu 3 hari kamu harus membawa bukti itu kepada saya” ucap Hendrawan. Senyum Bu Annisa mengembang, ia mengelus pundak Mentari.
“Silahkan kamu kembali ke kelas,” perintah Bu Annisa. Mentari berdiri, setelah memberi hormat ia segera melangkah keluar dari ruangan itu dengan kepala terus menunduk.
Sepanjang perjalanan menuju kelas kepalanya terus berpikir. Sampai rasanya sakit sekali. Mentari tidak menemukan satu carapun untuk membuktikan kepada kepala sekolah. Mentari terus berjalan menunduk sambil merutuki dirinya.
‘BUK!’
Kepalanya membentur tubuh seseorang didepannya. Mentari terkejut dan mendongak. Sebuah tubuh tinggi dan besar berdiri tepat di hadapannya. Sorot matanya tajam memandang ke arah Mentari. Mentari spontan melangkah mundur.
“Ma-maaf.” Ucap Mentari lirih. Takut orang tersebut tersinggung. Seseorang dihadapannya tak bergeming. Ia terus menatap Mentari tanpa reaksi apapun. Mentari kebingungan, ia pun menunduk.
Laki-laki bertubuh tinggi dan besar yang berada di hadapannya terlihat sedang melangkahkan kaki menuju Mentari. Jantung Mentari berdegup tak karuan. Ia membayangkan jika laki-laki tersebut akan memukulnya karena telah menabrak dirinya. Mentari memejamkan mata karena takut. Tangan laki-laki itu mengayun ke arah wajah Mentari dan,
“Kalau terus menunduk, kau akan selalu di remehkan orang. Harus tegap begini. Supaya orang tidak ada yang berani mengganggumu.” Ucapnya sambil menarik dagu Mentari agar mendongak ke atas. Mentari membuka matanya. Tubuhnya mendadak kaku. Laki-laki tersebut berjalan meninggalkan Mentari.
Beberapa menit kemudian, ‘Hhhhhhhhhhhhahhhhh!’ Mentari baru bisa bernapas seperti sedia kala setelah beberapa menit napasnya terhenti. Ia menoleh ke belakang. Laki-laki itu sudah hilang dari pandangan.
“Dia.” Gumam Mentari.
***
Mentari sudah kembali ke kelas. Ia baru melangkahkan kaki di depan pintu kelasnya. Langkahnya terhenti saat matanya menatap sosok laki-laki bertubuh tinggi besar sedang duduk di pojok kelasnya. Ya! Laki-laki tadi memang teman satu kelas Mentari. Ia bukanlah laki-laki seperti kebanyakan. Kesehariannya hanya di habiskan dengan duduk menyendiri sambil mendengarkan musik atau bermain game di ponsel. Ia tidak memiliki banyak teman. Bukan berarti ia tidak disukai teman-temannya. Hanya saja ia yang memilih menolak saat temannya mengajak untuk bergabung.