Menuju Seperempat Abad

Mala Armelia
Chapter #3

Berbagai Macam Bapak

Sejak kecil salah satu hal yang selalu aku pikirkan adalah bagaimana sebenarnya sosok Bapak di dalam kehidupan seorang anak. Apakah bapak adalah seorang lelaki tua? Sepertinya tidak, Ada banyak lelaki tua pada saat aku kecil yang ingin sekali aku sumpal mulutnya dengan cabai paling oren yang sudah diulek sampai dua sendok agar merah leher dan kepalanya lalu keluar asap dari telinga, itu imajinasi anak usia lima tahun tentang bagaimana orang seperti itu jangan sampai menjadi Bapak. Menjadi berumur saja tidak cukup untuk disebut Bapak.

Aku tidak tahu persis siapa yang aku kenal saat ku katakan dia adalah Bapak untukku pertama kalinya, tapi ada rasa haus akan bagaimana aku ingin merasakan betapa indahnya hari-hari jika aku mempunyai orang tua yang pantas ku sebut Bapak. Sialnya perkara ini sudah ku timbang-timbang sedari Bapak dan Ibuku tidak serumah lagi. Waktu itu, semasa itu aku menunjukkan betapa bangganya aku mempunyai banyak bapak, kita rinci mereka.

Bapak Adi, mempunyai nama asli Suwardi. Ahhh tunggu... aku menangis mengingat ini padahal sudah ditunda agar tidak terlalu sendu, beliau (alm) tidak persis mengurusku melainkan Mila, karena bertetangga tentu aku juga senang bermain ke rumah beliau yang besar tingkat dan memiliki banyak kamar. Beliau ini sangat layak disebut sebagai Bapak yang bukan karena tua saja tetapi begitu perhatian hingga memberikan apa yang kami butuhkan. Meskipun tidak diurus olehnya aku, sebagai rasa terima kasih yang belum bisa ku balas ku pastikan kebutuhan lahir dan batin adik kembarku kala itu lebih dari cukup terpenuhi.

Makanan, pakaian, tempat tinggal sudah pasti di dapat, hal yang berlebih adalah ketika Mila menangis atau hanya merajuk tidak tunggu lima menit sudah ku pastikan akan ada es krim mangkok di depan matanya sebagai rayuan. Salah satu hal yang tidak aku dapatkan meski sudah bergerung-gerung sekalipun agar bisa mendapatkan satu mangkok es krim, pernah aku bertanya kepada Bapak Adi,

"Kenapa aku nggak dibelikan juga Pak?" Tanyaku ketika aku kedapatan membelikan anak itu es krim.

"Kamu kan kakak, gapapa ya. Makan es krim nggak sehat" Katanya, atau begini, "Tuh liat adikkmu mojok pasti minta es krim." Secara tidak langsung Bapak memberiku pengertian selayaknya mengajarkan agar aku sudah mulai belajar menjadi lebih dewasa sebagai kakak.

Hal yang aku senang dari beliau adalah tidak hanya dengan memberikan materi supaya julukan Bapaknya aman melainkan dengan perhatian yang Bapak kandungku sendiri tidak bisa melakukan itu, Bapak Adi bisa langsung membawa Mila ke klinik terdekat tanpa aba-aba siapapun ketika tahu anak itu berbadan panas kemudian memarahi ibuku yang baru pulang kerja karena tidak memperhatikan makan anaknya sendiri, bisa kamu bayangkan betapa rasanya menjadi putri raja yang tidak boleh barang sedikit tubuhnya terkena debu itu mungkin yang dirasakan oleh Mila usia hingga usia tujuh tahun.

Sampai ketika kami berusia delapan di akhir tahun, seseorang menelpon ibuku dan meminta kami datang ke rumahnya setelah sekian lama tidak datang. Waktu itu ramadhan, biasanya memang Mila diminta datang untuk mencoba baju baru jadi pikiran kami tidak seburuk kejadian nyata. Rumah besar itu terlihat ramai dengan Bapak Adi yang sudah berbaring di tengah, aku dan mila diminta mendekat. Sebagai anak perempuan semata wayang, Bapak Adi baru bisa merespon dengan baik ketika Mila yang berbicara sebagai bentuk permintaan maaf untuk perpisahan dunia mereka meskipun di sana juga ada anak kandungnya. Selang beberapa menit, beliau dinyatakan almarhum. Apakah Mila menangis? Tidak, anak usia delapan tahun itu belum bisa mencerna perpisahan mereka sampai dua hari setelahnya.

Aku? Jangan tanya, aku sudah menahan nangis ketika kami baru datang dan melihat isi rumah itu penuh dengan air mata dan meledak saat tahu Bapak sudah tiada karena meskipun bukan untukku segala perhatian luar biasanya tetapi pengertian-pengertian kecil saat aku selalu bertanya apa yang dia lakukan terhadap Mila membimbingku menjadi lebih tangguh dan terbuka, terkadang aku merasa kesal tapi akan berakhir menjadi paham bahwa ini juga bentuk kasih sayang karena beliau juga selalu mengatakan, "Ini adikmu, jaga adikmu." dengan ciuman dahi atau pipi yang membuatku geli karena bulu janggut dan kumisnya.

Semenjak hari duka itu, kebersamaan kami menjadi bagian yang menyangkut di alam bawah sadar aku di delapan tahun. Aku sudah merasa kami adalah partner dalam beberapa hal mengenai Mila, dan sesuai permintaan yang sering beliau ulang-ulang, setelah itu aku berusaha keras agar bisa menggantikan posisi beliau walau aku sangat amat merasa ditinggal sendiri menjadi seorang anak yang dipaksa menjadi kuat menjaga anak tengil itu.

Lihat selengkapnya