Menuju Seperempat Abad

Mala Armelia
Chapter #4

Berbagai Macam Bapak 2

Aku sempat berpikir untuk mencari sosok bapak yang lainnya saat Bapak kandungku sendiri masih satu atap dengan ibu ketika mendegar ibu menangis sebab Bapakku susah sekali untuk tobat dari main togel, mereka tidak tahu kalau saat itu aku pura-pura tidur. Tapi, Tuhan mengabulkannya dengan cara yang menurutku aneh, Dia membawa sosok Bapak rahasia ke dalam dunia anak umur belasan setelah Bapak Amun meninggal. Setelah bertahun-tahun kemudian.

Namanya rahasia, sebab harusnya cerita ini menjadi rahasia namun sebagai bentuk terima kasih ku juga dengan Bapak yang ini aku rasa perihal ini sebaiknya juga tak apa untuk diceritakan karena betapa cocok sekali dia menjadi Bapak yang baik, atau menjadi orang yang baik meskipun dari pandangan lain.

Waktu itu, beberapa bulan setelah Bapak Amun meninggal, rumah kami menjadi kehilangan laki-laki satu-satunya yang bisa diandalkan sebab tidak ada lagi pria selain beliau. Ketika masih adapun sebenarnya kami juga sudah ambang mengenai pengaman ini karena kakek sudah tua dan jarang bergaul kemudian makin jadilah rasa kami di injak di tempat sendiri semenjak tidak ada kakek. Selain nenek, satu rumah ikut berduka. Hampir setiap hari kami membicarakan tentang kakek, tentang bagaimana kematiannya begitu indah, tentang kebaikannya yang sepi, tentang kecewa yang tenang juga banyak lagi kenangan yang masih menggenang sebab hanya dia pria yang bisa delapan perempuan itu sandari.

Tak sampai setahun, ibu membawa Bapak yang ini ke rumah. Anak-anak menerimanya sebab ada martabak di sana. Minggu depannya, nasi goreng. Kakakku marah, aku hanya diam sebab aku senang sekali martabak dan nasi gorengnya enak. Minggu depannya lagi ada banyak coklat batangan di kulkas juga cemilan enak yang jarang ada di rumah. Kakakku tidak marah, dia memintaku mendekat kepada bapak ini sebab tahu pasti ada pengabulan di sana. Kami mendekat dengan sungkan sebab sulit sekali menerima bahwa ibuku memiliki pasangan lagi setelah tujuh tahun melihatnya banting tulang sendiri.

Hidupku membungah walaupun sebentar ketika ada beliau, perasaan bagaimana rasanya mempunyai bapak terwujud saat ada dia disamping ibuku. Bayangkan betapa bahagianya ibu semenjak ada beliau ketika pipinya yang dahulu kempot menjadi cembung dan merona selalu, aku bahkan tidak perlu khawatir lagi perihal napasnya yang besar saat tidur. Meskipun keempat saudaraku mulanya enggan dan hanya aku yang berpura-pura lebih dahulu menerimanya karena aneka sesajen itu, kami berakhir menerima karena sungguh, sampai saat ini bahkan tidak ada pria lain yang membelikan kami (Aku dan keempat saudaraku) kebutuhan hidup sebanyak beliau. Alasan lain mengapa aku bisa menerimanya adalah karena aku tahu tidak bisa menjadi sosok bapak ini di mata ibu, Kebahagiaan yang aku rasakan pasti dia rasakan dengan caranya.

Terima kasihku yang paling tidak terlupakan adalah hadiah ulang tahun berupa menonton di bioskop dan pernah beliau menjemputku beberapa kali ketika pulang larut selepas acara kumpul kelas ala anak SMP, dua hal ini semacam obat dari impian masa kecil yang tidak pernah sekali aku dapatkan ketika Bapak kandungku sendiri ada batang hidungnya disampingku.

Aku menuliskan ini untuk beliau agar siapapun yang membaca ini dan tahu siapa sosoknya, menyadari bahwa Bapak ini orang baik, kebaikannya bisa memperpanjang hati perempuan-perempuan yang sudah lama kehilangan kebahagian sejatinya. Aku selalu berdoa ketika mengingatnya, semoga almarhum bisa tenang di alam kubur dan bisa membalas kebaikannya ketika di akhirat nanti entah apa caranya.

Dan di beberapa segmen hidupku dari umur balita, anak-anak sampai ABG, aku juga punya Bapak Anen. Manusianya sudah ada dari aku baru muncul di dunia sebab ketika Mila di asuh oleh Bapak Adi, aku diasuh oleh Bapak Anen dan Mamak Yayan. Kehadiran beliau lama sekali aku sadari karena kami jarang bertemu dan aku takut akan sosoknya, betul, aku takut. Kesialan ini bermula dari aku kecil dan sering kali mendengar mulut jahat tetangga yang tidak pikir panjang berbicara dengan anak usia lima tahun. Demi Tuhan, meskipun tidak ingat betul aku cukup dekat dengan Bapak Anen sampai sering kali ikut beliau naik kereta untuk kerja kemudian dititip kerabat karena beliau bergadang jadi hansip. Tapi cerita itu tidak indah lagi dimataku semenjak kejadian ini,

"Eh kembar. Lu yang mana dah? Anaknya Bapak Adi bukan?" Katanya menyita perhatianku yang sedang asyik bermain sendiri.

"Bukan." Jawabku sambil menggeleng.

"Oh, Bapak lu tuh abis mabuk tadi malem."

Sebagai anak lima tahun aku bertanya, "Bapak yang mana?"

"Anen." Jawabnya.

"Bapak sakit?"

"Bukan, Mabok dia tuh sampe muntah-muntah. Mana judi mulu di pasar."

Lihat selengkapnya