Frisco, Colorado Oktober 2022
“Kita punya menu teh baru.” Kata Mirjam, “barangnya baru datang kemarin.” Perempuan Meksiko pertengahan empat puluh itu mengeluarkan sebuah stoples kaca dari tumpukan kardus yang diletakkan di dekat pintu ayun yang memisahkan dapur dengan area makan. Barisan gelang batu khas Pattaya yang melingkar di lengan kirinya saling timpa sehingga menimbulkan suara gemericik yang enak di telinga.
Sinan, salah satu karyawan restoran yang saat itu sedang sibuk memeriksa inventaris di komputer kasir, menoleh pada Mirjam. Perempuan itu menghampiri Sinan, membuka penutup stoples dan mendekatkannya ke hidung Sinan. Gadis dengan perawakan mungil itu menghirup pelan aroma yang menguar dari dalam stoples. Wewangian rempah yang kuat seketika menyerbunya.
“Hmmm…sepertinya aku kenal aromanya. Apa ini chai?” ujar Sinan.
“Bukan. Ini teh khas Persia. Sekilas memang agak mirip chai karena campuran rempah-rempahnya sangat identik, tapi jenis daun teh ini berbeda. Kesan sepatnya jauh lebih kuat. Katanya, kandungan getah daun teh ini lumayan tinggi.”
“Have you tried it?”
“Ya, dan aku suka sekali. Mulai besok kita akan menyajikan ini dan sangat mungkin menyingkirkan namosa.”
“Kenapa dengan namosa?”
“Penggemarnya sangat sedikit. Aku tak tahu ada orang Irlandia yang repot-repot datang ke restoran hanya untuk minum namosa. Kukira mereka biasa membuatnya sendiri di rumah.” Mirjam mengendikkan bahu.
“Benar juga sih.” Dalam hati Sinan berharap Mirjam tidak benar-benar menyingkirkan salah satu teh favoritnya itu.
“Input ini dan bahan-bahan lain yang masuk tadi pagi. Aku akan menemui Shaddy dan mengajarinya menyeduh teh ini.”
“Will do,” Sinan mengacungkan ibu jari sebagai isyarat.
Mirjam mengangguk kemudian beranjak menuju dapur. Dengan cepat ia menghilang di balik pintu ayun. Sementara Sinan kembali kepada aktivitas sebelum berbicara pada Mirjam. Ia berusaha menyelesaikan pekerjaannya sebelum masuk jam makan siang.
Menjelang pukul sebelas pintu kaca tebal terbuka, menggiring masuk udara Frisco yang sejuk beserta rombongan empat orang pelanggan yang semuanya perempuan. Joella yang merupakan kepala pramusaji Sunny Side-up, bergerak sigap untuk menyambut mereka. Keempat perempuan itu didudukkan di meja untuk empat orang yang telah direservasi sehari sebelumnya.
Ketika masuk jam makan siang, keramaian di restoran itu meningkat dengan cepat. Gelombang kebisingan dari percakapan orang-orang mulai muncul, dikombinasi dengan dentingan peralatan makan yang terbuat dari porselen, sendok dan garpu perak.
Di belakang meja kasir, sementara jemari Sinan bergerak lincah di atas keyboard, ponsel dalam saku apronnya bergetar. Sekejap konsentrasi gadis itu buyar berantakan. Mendapati dirinya berada dalam konsentrasi penuh saat jam kerja adalah sebuah anugrah bagi Sinan, terutama akhir-akhir ini di mana kondisi kewarasannya berada dalam ambang keruntuhan. Ia menghela napas dan dengan enggan ia merogohkan tangan dan menarik ponselnya keluar. Sebuah panggilan WhatsApp dari Mawra, adik perempuannya di Indonesia. Kening gadis itu mengerut. Hampir pukul dua pagi di sana, sama sekali bukan waktu yang lazim bagi seseorang untuk melakukan panggilan telepon. Mesti ada sesuatu yang penting, benak Sinan menyimpulkan.
Ponsel itu bergetar enam kali sebelum Sinan memutuskan untuk menjawabnya.
“Ada apa, Ra?”