Menuju Titik Nol

Murasaki Okada
Chapter #2

Defacto

Indonesia, September 2011

“Dokumennya sudah lengkap. Surat pengantar dari KUA juga sudah siap...”

Ia mendengar ibunya berbicara di telpon. Entah dengan siapa. Suara Ibu begitu antusias. Sinan memalingkan wajah tak acuh.

“Hanya acara sederhana kok. Yang diundang cuma keluarga dekat sama tetangga...”

Dan...

“Iya Jumat ini. Bukan bermaksud buru-buru, Malaya kan sudah dua enam jalan. Takutnya jadi perawan tua...”

Dan bahkan...

“Iya, calonnya kan bukan orang lain, ponakan saya sendiri… Iya, yang dulu pernah tinggal sama saya waktu masih kuliah. Sekarang dia jadi staff ahli di DPR…”

Hatinya tersengat demi mendengar percakapan itu.

Pulang tampaknya merupakan sebuah kesalahan. Percakapan tentang rencana pernikahan kakak perempuan sulungnya, kian menabuh kecamuk dalam dada Sinan. Dia bukan tidak setuju Malaya menikah. Menikah adalah hak orang per orang, sama sekali bukan wewenangnya menahan Malaya atau siapa pun untuk menikah. Satu-satunya alasan mengapa Sinan keberatan adalah calon suami yang dipilih Malaya.

Sabrang!

Setiap kali lelaki itu melintas di benak Sinan, hanya ada satu hal yang ingin ia lakukan: melenyapkan Sabrang dari muka bumi.

Mestinya waktu itu kusumpal saja dia pakai bantal biar mati megap-megap, atau kutaburi racun tikus di kopinya, lalu kukubur di tanah kosong dekat lapangan pingpong di RT sebelah supaya tidak ketahuan.

Secepat kedipan mata, amarah gadis itu merayap hingga ke lambung. Secepat itu pula ia melengos, membalik badan dan melangkah ke kamar tidur. Dibantingnya pintu, berharap kehebohan Ibu di ujung telpon tadi segera lenyap, teredam dalam bilik suramnya. Tapi gaung percakapan bernada riang itu terus saja berdenging menjengkelkan di telinga.

Ia mengempaskan tubuh cekingnya ke ranjang kayu warisan mendiang Bapak. Benda tua itu berderit-derit menyedihkan ketika menyanggah Sinan. Padahal berat badannya hanya tiga puluh sembilan kilo.

Andai teori si Darwin itu benar tentang evolusi, benda rongsokan ini pasti akan menyusun ulang materinya dan berubah menjadi ranjang karet busa yang empuk. Geramnya.

Kenyataan yang tak seindah teori itu kian membuatnya muntab. Dibenamkanya wajah ke dalam bantal. Tak sengaja mengirup debu. Ia terbatuk-batuk.

“Taik kau Darwin!”

                                                           *****

Lihat selengkapnya