Menuju Titik Nol

Murasaki Okada
Chapter #3

Hening

Indonesia, September 2011

Gadis itu tanpa suara.

Angin dingin melintasi atap-atap rumah penduduk untuk menemui udara lembap bulan September. Sebuah hembusan halus meniup hijab kelabunya yang kusut masai hingga menutupi wajah. Dengan gerakan tidak sabar Sinan menyingkapnya ke tepi layaknya sebuah tirai. 

Di hadapannya, sejauh jangkauan pandang, langit terhampar bagai permadani beludru. Dalam sapuan udara gigil, satu jam sebelum matahari mengulurkan tirai cahaya di tempat itu. Bulan perak yang pucat timbul tenggelam di balik gumpalan awan. Bintang-bintang di sela dahan tampak bagai taburan koin emas.

Mengarahkan pandangan ke sebuah konstelasi yang sebentar lagi akan padam, pikiran gadis ceking itu dipenuhi getir yang saling tumpang tindih. Tidak ada apapun saat itu selain satu hal yang perlahan mengering di wajahnya. Sisa air mata. Sedu sedannya telah lama surut.

Tadi, pagi-pagi sekali di saat orang-orang di rumah belum sepenuhnya bangun, gadis itu sudah menyelinap pergi. Tidak sudi ia menghadiri aqad nikah. Pun tidak hendak mendekam di kamarnya yang suram selama prosesi ijab qabul. Sinan memutuskan untuk menyendiri di tempat itu sembari menangisi nasibnya. Sebab Ibu menutup telinga pada permohonan siapa pun untuk meniadakan pernikahan Malaya dengan Sabrang. Segala protes dan pertimbangan yang diajukan baik Nuala maupun Sinan, demi menentang pernikahan sang kakak dan lelaki racun itu, ditolak secara defacto oleh Ibu.

                                                           *****

Ruangan tamu tampak hangat dengan kain dekorasi biru-putih, juntaian pita dan bunga plastik berupa-rupa warna. Gadis itu merapatkan ransel di bahu sambil mengamati pemandangan yang terhampar di hadapannya. Piring-piring saji masih berantakan dan disusun seadanya. Tebaran tisu bekas pakai dan remah-remah makanan menjadi indikasi bahwa acara itu berlangsung meriah. Hati Sinan nelangsa. Sudah tertakdir. Tidak ada lagi yang bisa dia lakukan.

“Kamu sudah pulang?” kata Ibu ketika melihat Sinan berjalan melintasi ruang tamu. Gadis itu menghentikan langkah, namun tak menyahuti ucapan sang ibu.

Wanita paruh baya itu menatap putrinya selama beberapa saat lalu berkata, “masih ada nasi sama lauk, ibu taruh di meja makan. Kamu makan saja, kalau mau.”

Sinan terpaku. Awalnya ia berpikir Ibu akan menyemburnya dengan kata-kata penuh kemarahan sebab ia dengan sengaja mangkir dari rumah ketika matahari bahkan belum muncul, hanya demi menghindari acara pernikahan Malaya. Tapi Ibu sama sekali tidak mengungkit-ungkit soal itu. Iyalah, nggak bakal diungkit juga, suaraku tidak ada artinya buat Ibu. Hati Sinan getir. Dia sadar dirinya bukan siapa-siapa di mata Ibu, dibandingkan dengan Sabrang. Hadir atau tidak, akad nikah itu bakal terlaksana juga.

Sinan berdiri dengan hening setelah Ibu beranjak. Bahkan setelah segala upaya terbaiknya, ia tetap tidak bisa membuat dirinya berharga di mata sang ibu.

                                                           *****

Pernikahan yang kini menginjak usia tiga bulan itu mulai menampakkan benih-benih yang menjadi sumber ketakutan utama Sinan. Rencana relokasi ke rumah Sabrang yang semula hanya percakapan sambil lalu, mendadak terealisasi. Sinan dengan sengit menolak untuk ikut pindah dan bersikukuh untuk tetap menempati rumah warisan mendiang bapak, tetapi ibu berkata rumah itu akan segera dijual. Sinan yang tak punya pilihan lain akhirnya ikut pindah, namun tak berniat tinggal lama. Dia tetap berencana keluar dari rumah itu secepat yang dia bisa.

Karenanya Sinan mulai menyibukkan diri di luar agar dirinya tidak bertemu Sabrang sering-sering. Selama beberapa waktu ia bekerja sebagai tour guide di sebuah perusahaan travel. Sinan menolak segala bentuk tawaran bantuan dari lelaki itu, meski Ibu terus saja mendesakkannya.

“Kasih berkas kamu ke Sabrang, biar dia bisa carikan pekerjaan yang cocok lewat koneksinya.” Ibu bertitah, entah untuk yang keberapa kali.

Dan selalu ditampik Sinan dengan, “aku nggak minat sama pekerjaan seperti itu.”

“Ini bukan soal kamu minat atau tidak. Biarpun hidup kita sekarang sudah mulai membaik, tapi menurut ibu kamu juga perlu punya pekerjaan, punya penghasilan.”

“Aku punya penghasilan, bu.”

“Bekerja paruh waktu seperti itu tidak bisa menjamin masa depan kamu.”

“Itu bukan pekerjaan paruh waktu. Aku digaji dengan pantas seperti orang-orang.” Sinan berkata dengan jengah.

Lihat selengkapnya