Menuju Titik Nol

Murasaki Okada
Chapter #3

Hening

Gadis itu tanpa suara.

Angin dingin melintasi atap-atap rumah penduduk untuk menemui udara lembap bulan September. Sebuah hembusan halus meniup hijab kelabunya yang kusut masai hingga menutupi wajah. Dengan gerakan tidak sabar Sinan menyingkapnya ke tepi layaknya sebuah tirai. 

Di hadapannya, sejauh jangkauan pandang, langit terhampar bagai permadani beludru. Dalam sapuan udara gigil, satu jam sebelum matahari mengulurkan tirai cahaya di tempat itu. Bulan perak yang pucat timbul tenggelam di balik gumpalan awan. Bintang-bintang di sela dahan tampak bagai taburan koin emas.

Mengarahkan pandangan ke sebuah konstelasi yang sebentar lagi akan padam, pikiran gadis ceking itu dipenuhi getir yang saling tumpang tindih. Tidak ada apapun saat itu selain satu hal yang perlahan mengering di wajahnya. Sisa air mata yang telah surut. Sinan memutuskan untuk tidak pulang ke rumah dan menyaksikan ijab qabul. Juga tidak hendak mendekam di kamarnya yang suram selama prosesi. Sinan akhirnya menghabiskan satu hari satu malam tempat itu demi mendedahkan segala konflik dalam batin. Sebab Ibu tidak sudi meloloskan permohonannya untuk membatalkan pernikahan Malaya. Segala protes yang Sinan ajukan demi menentang pernikahan sang kakak dan lelaki racun itu ditolak secara defacto oleh Ibu.

                                                           *****

Ruangan itu tampak hangat dengan kain dekorasi biru-putih, juntaian pita dan bunga plastik berupa-rupa warna. Gadis itu merapatkan ransel di bahu sambil mengamati pemandangan yang terhampar di hadapannya. Piring-piring saji masih berantakan dan disusun seadanya. Tebaran tisu bekas pakai dan remah-remah makanan menjadi indikasi kemeriahan acara itu.

“Kamu sudah pulang?” kata Ibu ketika melihat Sinan berjalan melintasi ruang tamu. Gadis itu menghentikan langkah, namun tak menyahuti ucapan sang ibu.

Wanita paruh baya itu menatap putrinya selama beberapa saat lalu berkata, “Masih ada nasi sama lauk, ibu taruh di meja makan. Kamu makan saja, kalau mau.”

Sinan terpaku. Awalnya ia berpikir ibunya akan menyemburnya dengan kata-kata penuh kemarahan lantaran ia dengan sengaja mangkir dari rumah sejak petang kemarin hanya demi menghindari acara pernikahan Malaya. Tapi Ibu sama sekali tidak mengungkit-ungkit soal itu.  Iyalah, nggak bakal diungkit juga, aku kan nggak penting buat Ibu. Hati Sinan getir. Dia sadar dirinya bukan siapa-siapa di mata Ibu, dibandingkan dengan Sabrang. Hadir atau tidak, akad nikah itu bakal terlaksana juga.

                                                           *****

Malam itu Sinan membuka mata, terbangun oleh sebuah suara. Ia tak pasti apakah saat itu dirinya sedang bermimpi. Bagaimana pun ia bersikeras untuk tetap membuka mata. Dalam cahaya samar-samar ia menangkap bayangan seseorang, berdiri tidak jauh dari ranjangnya. Serta-merta gadis itu bangkit.

“Siapa?” suara gadis itu bergetar.

Lihat selengkapnya