Leadville, Colorado November 2022
Gadis itu terbangun oleh raungan alarm pukul tujuh, berbaring telentang dengan rasa sakit di belakang mata karena tidur yang terganggu. Sentakan tiba-tiba yang terus datang hampir sepanjang malam, menyeret paksa Sinan keluar dari fase REM-nya. Sialnya, setelah terbagun dengan cara seperti itu ia tak bisa kembali tidur, hanya menelentang tak bergerak di bawah selimut, menunggu rasa kantuk datang.
Tikam lalu sayat. Kamu tahu cara kerjanya. Sebuah kebisingan tanpa bentuk bangkit dari kekosongan.
Sinan berbaring di tengah-tengah ranjang dengan posisi melengkung serupa janin dalam rahim, kedua kakinya ditekuk. Gadis itu membuka mata, mengejap-ngejap dengan lambat. Pandangannya lalu tertumpu pada jemari kurusnya yang bertumpuk di atas bantal. Di tengah rasa kantuk dan pikiran kebas, kemuraman menyebar secepat pasukan belalang mengoyak ladang jagung.
Remisi selesai…
Keributan dalam kepalanya berlanjut.
Harus dilakukan dengan cepat. Tidak ada yang namanya mati pelan-pelan. Kamu hanya akan berubah pikiran karenanya. Suara-suara itu membumbung mirip segerombolan lebah yang keluar dari sarang. Kata-kata yang terdengar seperti suara kumur-kumur yang sangat keras. Gadis itu menutup mata dan membalikkan badan. Yang namanya mati pasti tragis. Semua orang bakal mati dengan tragis. Kamu bukan pengecuaian.
Sinan tahu tidak ada gunanya mencoba tidur lagi karenanya ia bangkit dan dengan letih menyeret dirinya turun dari tempat tidur lalu turun ke lantai bawah.
Gadis itu sudah setengah tiba di dapur ketika mendapati Lockon berdiri di depan kompor. Kaca jendela dibiarkan terbuka sehingga sinar matahari menyapu setengah bagian ruangan itu. Sinan buru-buru berbalik sebelum Lockon sempat menyadari kehadirannya. Gadis itu kembali ke kamar tidurnya, memasang hijab dengan cepat dan turun lagi ke dapur.
“Good morning, Lockon.” Sapa Sinan sembari menyampirkan ujung hijabnya ke bahu.
“Hai, good morning.” Lelaki itu menoleh lalu tersenyum. Kedua tangan Lockon sedang sibuk memasukkan bubuk kopi ke dalam coffee maker.
“Aren’t you working today?” Sinan berujar tanpa menyembunyikan keheranannya. Lockon biasanya berangkat kerja lebih pagi di hari Rabu.
“I’m taking days off.”
“Why?”
“Wait, give a quick moment.” Lockon memberi isyarat dengan mengangkat sebuah jari telunjuk. Usai menuangkan air panas ke dalam coffee maker dan menekan penyaringnya, Lockon meletakkan benda itu di atas meja makan dan menghampiri Sinan.
“Duduklah, ada yang mau kubicarakan sambil sarapan.”
Sambil menunggu, Sinan memerhatikan lelaki jangkung itu menyalakan kompor dan mulai membuat sarapan untuk mereka berdua. Aroma butter dan wangi bawang tumis seketika memenuhi dapur. Dengan cekatan Lockon menuangkan adonan omelet dengan irisan besar bawang bombai ke atas wajan yang berdesis. Begitu pemanggang roti berdenting, tangan Lockon bergerak untuk mengoleskan mustard dan saos sriraca kesukaan mereka berdua. Lockon membalik omelet di atas wajan, dan ketika matang ia memindahkannya ke piring sterofoam sekali pakai. Ia lalu menyusun potongan daun selada, dan irisan tomat, kemudian menyisipkan sehelai keju tebal dan omelet telur di antara dua helai sourdough bread yang kecoklatan, setelah itu tangkupan roti diletakkan di atas piring yang lain. Lalu Lockon menyodorkannya pada Sinan.
Gadis itu menghadapi hidangannya, namun tak yakin apakah dia punya selera bahkan untuk sekadar mencicipi.
“Aku akan berangkat ke California hari ini.” Ujar Lockon ketika akhirnya ia duduk menghadapi piringnya.