Menuju Titik Nol

Murasaki Okada
Chapter #4

All the Love in the World

Leadville, Colorado November 2022

Awan gelap menggantung rendah di atas kota, membuat cahaya matahari terkulai di sekitar tepiannya, dan mengubah semua benda menjadi kuning pucat. Selama berhari-hari salju membungkus Leadville, sampai serbuk putih yang menumpuk setebal beberapa sentimeter itu seakan meredam hiruk-pikuk kota. Para pengendara harus ekstra hati-hati saat mengemudi. Sejumlah rambu, pepohonan, bahkan mobil yang terparkir ditutupi selimut putih. Truk pembersih salju yang dilengkapi garam pelumer es hilir mudik mendorong salju ke pinggir jalan. Curah yang tinggi tahun ini membuat pekerjaan itu seolah tidak ada habisnya.

Sementara ia keluyuran di jalan tanpa tujuan spesifik, Sinan mampir untuk membeli segelas kopi panas dari sebuah gerai kecil di pinggir jalan. Sambil menatap jalan yang ditumpuki salju ditingkahi orang-orang yang lalu-lalang, berharap segala hal di hadapannya mampu meredam kesuraman dalam benaknya. Namun rasa nyaman dan lega tak kunjung hadir. Beban pikirannya tidak juga terangkat.

Implikasi dari permintaan Mawra agar Sinan hadir di pernikahannya, yang akhirnya disanggupi Sinan, baru disadari gadis itu kemudian. Bahwa entah bagaimana suara-suara dalam kepalanya muncul semakin intens. Mesti ada sesuatu yang memicu reaksi itu dalam dirinya. Rencana pulang ke Indonesia sudah sepatutnya ia jadikan kambing hitam. Sebab jauh sebelum Mawra mendesakkan permohonan itu, Sinan tidak terlalu kewalahan menghadapi gempuran suara-suara dalam kepalanya. Bahkan beberapa tahun belakangan, ia mampu mempertahankan ritme dan tempo suara-suara itu agar lebih tertanggungkan.

Perut gadis itu mendadak terasa tegang. Rasa muak memenuhi dirinya seperti demam. Setelah semua upaya penyembuhan yang coba ia jalani, tampaknya Sinan harus kembali ke titik paling mula-mula. Kekalutan dengan cepat merembesi benaknya.

                                                                                               *****

Gadis itu terbangun oleh raungan alarm pukul tujuh. Ia berbaring telentang dengan rasa sakit di belakang mata karena kurang tidur. Sentakan tiba-tiba yang terus datang hampir sepanjang malam, menyeret paksa Sinan keluar dari tidurnya. Sialnya setelah terbagun dengan cara seperti itu, ia tak bisa kembali tidur. Sinan baru bisa benar-benar terlelap satu jam sebelum fajar.

Tusuk lalu iris. Kamu tahu cara kerjanya.

Sebuah suara bangkit dari kekosongan. Sinan berbaring di tengah-tengah ranjang dengan posisi melengkung serupa janin dalam rahim, kedua kakinya ditekuk. Gadis itu membuka mata, mengejap-ngejap dengan lambat. Pandangannya lalu tertumpu pada jemari kurusnya yang bertumpuk di atas bantal. Di tengah rasa kantuk dan pikiran kebas, Sinan menangkap sebuah keributan di dalam kepalanya.

Harus dilakukan dengan cepat. Tidak ada yang namanya mati pelan-pelan. Kamu hanya akan berubah pikiran karenanya. Suara-suara itu membumbung mirip segerombolan lebah yang keluar dari sarang. Kata-kata yang terdengar serupa gumaman menderu. Gadis itu menutup mata dan berbalik arah. Yang namanya mati pasti tragis. Semua orang bakal mati dengan tragis. Kamu bukan pengecuaian. Sinan tahu tidak ada gunanya mencoba tidur lagi karenanya ia bangkit dan memaksa dirinya turun dari tempat tidur.

Sinan sudah setengah tiba di dapur ketika mendapati Lockon berdiri di depan kompor. Kaca jendela dibiarkan terbuka sehingga sinar matahari menyapu setengah bagian ruangan itu. Sinan buru-buru berbalik sebelum Lockon sempat menyadari kehadirannya. Gadis itu kembali ke kamar tidurnya, memasang hijab dengan cepat dan turun lagi ke dapur.

Good morning, Lockon.” Sapa Sinan sembari menyampirkan ujung hijabnya ke bahu.

“Hai, good morning.” Lelaki itu menoleh lalu tersenyum. Kedua tangan Lockon sedang sibuk memasukkan bubuk kopi ke dalam coffee maker.

Aren’t you working today? Kamu biasanya berangkat lebih pagi di hari Rabu.”

I’m taking my days off.”

Why?”

Wait, give a quick moment.” Lockon memberi isyarat dengan mengangkat sebuah jari telunjuk. Usai menuangkan air panas ke dalam coffee maker dan menekan penutupnya, Lockon meletakkan benda itu di atas meja dan menghampiri Sinan.

“Duduklah, ada yang mau kubicarakan sambil sarapan.”

Sambil menunggu, Sinan memerhatikan lelaki jangkung itu menyalakan kompor dan mulai membuat sarapan untuk mereka berdua. Aroma butter dan wangi bawang tumis seketika memenuhi dapur. Dengan cekatan Lockon menuangkan adonan omelet dengan irisan besar bawang bombai ke atas wajan yang berdesis. Begitu pemanggang roti berdenting, tangan Lockon bergerak untuk mengoleskan mustard dan saos sriraca kesukaan mereka berdua. Lockon membalik omelet di atas wajan, dan ketika matang ia memindahkannya ke piring sterofoam sekali pakai. Ia lalu menyusun potongan daun selada, dan irisan tomat, kemudian menyisipkan sehelai keju tebal dan omelet telur di antara dua helai sourdough bread yang kecoklatan, setelah itu tangkupan roti diletakkan di atas piring yang lain. Lalu Lockon menyodorkannya pada Sinan.

Gadis itu menghadapi hidangannya, namun tak yakin apakah dia punya selera bahkan untuk sekadar mencicipi.

“Aku akan berangkat ke California hari ini.” Ujar Lockon ketika akhirnya ia duduk menghadapi piringnya.

Lihat selengkapnya