Tripoli, Libya. Pertengahan Agustus 2010
Matahari terpantul pada awan cumulus. Membuat awan itu menjadi beraneka ragam warna yang dimulai dengan warna terang di ujung timur dan menyebar dalam warna pastel yang lembut. Puncak-puncak bangunan menjadi bagian seperti kalaedoskop. Ketika matahari yang merah terbit, polanya mengubah warna-warna tadi menjadi biru dan putih tak beraturan.
Senin pagi. Hari kembali berdetak. Kehidupan kembali menggeliat. Aktivitas di Tareq Hadhbah mulai tampak. Ruas-ruas jalan mulai ramai dengan kendaraan. Hiruk-pikuk orang-orang dengan kesibukan masing-masing. Toko-toko di sepanjang ruas jalan satu demi satu terbuka.
Udara pengap dengan cepat menerobos masuk melewati jendela kaca pleksi dengan kerangka yang carut-marut. Jenis udara yang membuat Sinan selalu ingin berlama-lama di bawah kucuran shower.
Gadis itu tampak sedang sibuk menata barang-barang dalam koper. Sementara Nawal, gadis Sebha yang selama ini menjadi teman sekelas sekaligus teman satu flatnya, sedang berbicara di telefon sambil mondar-mandir. Ia menggunakan Bahasa Arab ‘amiyah dengan aksen Sebha yang terdengar aneh di telinga Sinan. Sesekali Nawal memungut beberapa barang miliknya, dan melemparkan mereka seenaknya kedalam koper.
“Kakakku akan menemani kita.” Ujar gadis jangkung itu begitu urusan telefon-menelfonnya selesai. “Dia bilang akan menyewa mobil seorang Eritrea.”
“Jam berapa kita berangkat?”
“Katanya sih, jam tiga.” Ujar Nawal.
Sinan hanya menggumam dan mengangguk pelan sebagai respon.
“Tapi entahlah, sepanjang pengalamanku, sangat sulit memastikan segala sesuatu saat berurusan dengan orang Eritrea. Heran juga kenapa kakakku tidak pernah kapok berurusan dengan mereka.” Dan seterusnya Nawal mengomel tanpa ujung pangkal
Hari itu, akhirnya Sinan setuju untuk ikut mudik bersama Nawal ke Sebha. Butuh waktu lama bagi gadis itu untuk membujuk teman sekamarnya untuk meletakkan sejenak kehidupannya sebagai pelajar dan menikmati masa liburan. Tak mudah membujuk gadis itu.
“Aku tahu, kamu tidak berencana pulang ke Indonesia. Jadi lebih baik ikut saja denganku ke Sebha.” Ujar Nawal. Didorong oleh keprihatinan pada gadis Indonesia itu. Sejak mereka tinggal bersama, Nawal selalu meninggalkan Sinan sendirian untuk mudik.
Sebenarnya, Sinan tidak keberatan ditinggal sendirian. Ia punya banyak hal untuk dilakukan selama masa liburan. Tapi, entah mengapa kali ini Sinan mau saja meloloskan permintaan Nawal.
Sinar matahari ketika beranjak siang terus-menerus menimpa jendela. Pohon kurma dan pakis yang berbaris di luar sana, tampak hijau dan sejuk dalam cuaca semacam itu. Tetapi udara panas terus berkumpul dalam ruangan. Sinan pertama-tama merasakan di telinganya. Menyebar hingga ke tengkuk lalu turun ke punggung dan mulai membuatnya berkeringat.
Hawa panas itu tampak oranye. Hampir sama dengan warna matahari yang terpantul pada bangunan-bangunan. Beberapa blok di seberang jalan, kubah masjid Misbah Asysawsy memantulkan sinar matahari, yang jika dilihat dari jendela kamar Sinan, menyerupai sebuah mata besar yang memancarkan panas.
“Ya ampun! Kenapa mesti bawa buku segala? Kita ini sedang libur?” sambar Nawal ketika memergoki Sinan menata beberapa buku ke dalam koper.
“Ini hanya bacaan ringan untuk mengisi waktu luang.” Jawab Sinan polos.
“Tidak bakal ada waktu luang. Percaya padaku. Di Sebha orang-orang selalu sibuk, sepanjang hari. Terutama perempuan.”
Sinan hanya mengulum senyum dan bersikeras mengikutsertakan buku-buku itu bersamanya.
Nawal menepuk jidat. “Aku tak tahu ada perempuan yang lebih keras kepala dari perempuan Arab.”
Menjelang sore, udara dalam ruangan sedikitnya sepuluh derajat lebih panas ketimbang di luar. Barangkali karena kombinasi matahari yang redup dengan kerangka jendela yang carut-marut. Pemandangan di luar seperti tidak memiliki warna. Segala sesuatu tampak membingungkan dari kejauhan.
Kedua gadis itu baru saja meninggalkan apartemen sambil menyeret koper masing-masing. Di depan gerbang Gedung Sulaiman Pasha, mereka menunggu.
Masih terik. Angin sepoi-sepoi menerbangkan debu dan pasir. Sinan menutup wajahnya dengan ujung hijab, menghindari pasir yang beterbangan itu masuk ke mata.
Beberapa jenak kemudian, sebuah mobil merek Jepang berhenti di depan gerbang. Pintu penumpang terbuka, disusul kemunculan seorang lelaki jangkung, berkacamata hitam. Penampilannya terkesan angker, dengan balutan celana khas militer dan jaket kulit berwarna hitam. Ia menyapa Nawal dengan serta-merta.