Menuju Titik Nol

Murasaki Okada
Chapter #5

Pendar Oranye

Tripoli, Libya. Pertengahan Agustus 2010

           Matahari terpantul pada awan cumulus, membuat awan itu menjadi beraneka ragam warna yang dimulai dengan warna terang di ujung timur dan menyebar dalam warna pastel yang lembut. Puncak-puncak bangunan menjadi bagian seperti kalaedoskop. Ketika matahari yang merah terbit, polanya mengubah warna-warna tadi menjadi biru dan putih tak beraturan.

Rabu pagi. Hari kembali berdetak. Kehidupan di Tareq Hadhbah perlahan menggeliat. Toko-toko di kiri-kanan jalan, satu per satu terbuka. Ruas-ruas jalan disemarakkan oleh kendaraan serta hiruk-pikuk manusia yang larut dalam arus kesibukan masing-masing.

Menjelang waktu duha, udara pengap dengan cepat menerobos masuk, melewati jendela kaca pleksi dengan kerangka yang carut-marut. Jenis udara yang membuat Sinan selalu ingin berlama-lama di bawah kucuran shower. Saat itu ia sedang sibuk menata barang-barang dalam koper. Sementara Nawal, gadis Sebha yang selama ini menjadi teman sekelas sekaligus teman satu flatnya, sedang berbicara di telefon sambil mondar-mandir. Ia menggunakan Bahasa Arab ‘amiyah dengan aksen Sebha yang terdengar canggung di telinga Sinan. Sesekali Nawal memungut beberapa barang miliknya, dan melemparkan mereka seenaknya kedalam koper.

           “Kakakku akan menemani kita.” Tandas gadis jangkung bertubuh padat itu, begitu urusan telefon-menelfonnya selesai. “Dia bilang akan menyewa mobil seorang Eritrea.”

           “Jam berapa kita berangkat?”

           “Katanya sih, jam tiga.” Ujar Nawal.

           Sinan menggumamkan sesuatu dalam bahasa Indonesia yang tak dipahami Nawal, lalu mengangguk sebagai respon.

“Tapi entahlah, sepanjang pengalamanku, sangat sulit memastikan segala sesuatu saat berurusan dengan orang Eritrea. Heran juga kenapa kakakku tidak pernah kapok berurusan dengan mereka.” Dan seterusnya, Nawal mengomel tanpa ujung pangkal

           Hari itu, akhirnya Sinan setuju untuk ikut mudik bersama Nawal ke kampung halaman gadis itu di Sebha. Sebenarnya Sinan tidak punya masalah dengan kesendirian. Dia sudah terbiasa ditinggal sendiri. Libur-libur panjang sebelumnya dilalui gadis itu dengan kegiatan harian yang monoton namun sangat dinikmatinya. Tiba-tiba sebuah dorongan impulsif yang aneh muncul entah dari mana, memantik ide dalam kepalanya.

           Sinar matahari ketika beranjak siang terus-menerus menimpa jendela. Pohon kurma dan pakis yang berbaris di luar sana, tampak hijau dan sejuk dalam cuaca semacam itu. Tetapi udara panas terus berkumpul dalam ruangan. Sinan pertama-tama merasakan di telinganya, menyebar hingga ke tengkuk lalu turun ke punggung dan mulai membuatnya berkeringat.

           Hawa panas itu tampak oranye. Hampir sama dengan warna matahari yang terpantul pada bangunan-bangunan di penjuru kota. Beberapa blok di seberang jalan, kubah masjid Misbah Asysawsy memantulkan sinar matahari, yang jika dilihat dari jendela kamar Sinan, menyerupai sebuah mata besar yang memancarkan panas.

           “Ya ampun! Kenapa mesti bawa buku segala? Kita ini sedang libur, Sinan.” sambar Nawal ketika memergoki Sinan menata beberapa buku ke dalam koper.

           “Ini hanya bacaan ringan untuk mengisi waktu luang.” Jawab Sinan polos.

           “Tidak bakal ada waktu luang. Percaya padaku. Di Sebha orang-orang selalu sibuk, sepanjang hari. Terutama perempuan.”

           Sinan hanya mengulum senyum dan bersikeras mengikutsertakan buku-buku itu bersamanya. “Untuk jaga-jaga saja, mana tahu ada jeda.”

           Nawal menepuk jidat. “Aku tak tahu ada perempuan yang lebih keras kepala dari perempuan Arab.”

            Waktu menunjukkan hampir pukul tiga, namun cuaca masih terik. Udara di dalam ruangan setidaknya sepuluh derajat lebih tinggi ketimbang di luar. Cahaya matahari merah kuning yang terus-menerus menimpa kerangka jendela membuat segala sesuatu tampak membingungkan: benda-benda tampak seolah tidak memiliki warna.

           Kedua gadis itu baru saja meninggalkan gedung apartemen sambil menyeret koper masing-masing. Di depan gerbang bangunan Sulaiman Pasha, mereka menunggu. Angin sepoi-sepoi menerbangkan debu dan pasir. Sinan menutupi wajahnya dengan ujung hijab, menghindari pasir yang beterbangan itu masuk ke mata.

           Tidak lama setelahnya, sebuah mobil merek Jepang berhenti di depan gerbang. Pintu penumpang terbuka, disusul kemunculan seorang lelaki jangkung mengenakan kacamata hitam. Penampilannya terkesan angker, dengan balutan celana khas militer dan jaket kulit berwarna hitam. Ia menyapa Nawal dengan serta-merta.

           “Itu kakakku.” Kata Nawal pada Sinan, lalu dengan cepat menghampiri lelaki itu.

           Kedua kakak beradik itu tampak berbicara selama beberapa saat, sebelum akhirnya Nawal menghampiri Sinan kembali. Ia lalu mengenalkan sang kakak pada Sinan.

Lihat selengkapnya