Menuju Titik Nol

Murasaki Okada
Chapter #6

Far from Home

Sebha, Libya. Pertengahan Agustus 2010

           Hembusan gigil Sahara melintasi bebukitan sebelah barat untuk menemui udara bulan Agustus. Dalam beberapa jam, kabut tipis yang memasuki kota tampak seperti kulit buah persik di kegelapan. Jarak pandang tidak lebih dari satu langkah panjang kedepan. Jubah kabut yang merentang di sepanjang rumah-rumah penduduk, menciptakan perasaan muram yang makin berlapis dalam hati gadis itu. Jauh dari rumah. Jauh dari akar yang mengikat asal-usulnya.

           Kenapa aku mesti pergi sejauh ini, ya? Dengan cepat ia menyadari betapa dirinya enggan berada di tempat itu, di situasi itu. Rasa sesal sebesar kepalan tangan dengan telak menusuk ulu hati Sinan.

           Mobil kemudian berhenti di ujung jalan setapak dan menurunkan ketiga penumpang itu. Tuntas dengan urusan barang bawaan, mobil itu menderu lalu perlahan beranjak.

           Ragib berjalan lebih dulu sebagai pemandu, sambil menenteng kedua koper gadis itu. Sementara Sinan dan Nawal berjalan bersisian mengikuti langkah lelaki kekar di depan mereka.

           Mereka memasuki kompleks yang berisi tiga bangunan bercat putih dengan kubah di atasnya, yang ditata mengelilingi pekarangan penuh pohon. Suara riuh orang-orang di tengah keheningan subuh, menyambut ketiganya.

           Sinan dan Nawal langsung dihampiri beberapa orang perempuan. Nawal menyapa para perempuan itu, menanyakan kabar dan jenis basa-basi lainnya. Sementara Sinan dimbimbing oleh seorang perempuan memasuki ruangan luas berdinding warna toska mengkilap dihiasi furniture keramik dan timah dari Cina.

           Perempuan itu menyilakan Sinan duduk di pojok. Gadis itu duduk bersandar pada bantal berbungkus satin yang merapat ke dinding. Sejenak, pikiran Sinan menerawang. Di tengah-tengah riuhnya gemericik obrolan kaum perempuan ditingkahi nada bas yang berat dari kaum lelaki. Helaan napas letih dan gelisah gadis itu dengan cepat menguap di udara. Beberapa jenak kemudian, Nawal menghampiri Sinan dengan sebuah nampan berisi jus apel segar dan sepiring kudapan.

           “Kamu istirahat sebentar di sini, ya? Kamar untukmu sedang dipersiapkan.” Ujar Nawal.

           “Kukira aku akan menginap di kamarmu?” Sinan bertanya dengan heran.

           “Aku tak tahu seperti apa di daerah asalmu, tapi di sini tempat untuk tamu dipisahkan dengan tuan rumah.”

           Sinan terdiam. Raut wajahnya tampak bimbang.

           “Jangan khawatir begitu. Kita kan tinggal serumah. Kamu masih bisa melihatku setiap hari kalau-kalau kamu rindu.” Gadis berhidung mancung itu berkelakar.

           Sinan memaksakan sebuah senyum hadir. Kesuraman sepekat malam menyelimuti batinnya.

           “Kamu silakan beristirahat dulu. Aku masih harus mengerjakan beberapa hal.” Nawal menepuk pelan lutut Sinan sebelum beranjak.

           Tidak lama setelahnya, Sinan tersentak oleh langit yang menderau dengan paduan suara muazin yang nyaris serempak. Berombak. Saling bersahutan. Di Indonesia, ia sudah sangat terbiasa mendengar kumandang azan pada setiap waktu salat. Namun, mendengarnya nun jauh di tempat asing, menciaptakan riak perasaan yang benar-benar lain. Seperti ada listrik yang menjalari punggungnya. Lembut namun bertenaga.

           Para lelaki bangkit. Saling mengajak. Saling mendahulukan untuk berangkat ke masjid. Dari posisinya berada, Sinan memindai keberadaan Ragib. Namun sosok itu tak tampak.

           Mungkin sedang istirahat. Batin Sinan.

           Kaum perempuan juga bangkit. Saling mengajak satu sama lain.

                                                                       *****

           Matahari baru saja naik seinci, namun kegiatan di rumah keluarga Egmari sudah masuk gigi dua. Kegiatan terpusat terutama di dapur. Beberapa perempuan tetangga datang membawa berupa-rupa bahan makanan dan bumbu dapur dalam jumlah yang banyak, serta daging domba yang disembelih beberapa waktu sebelumnya.

           Para perempuan kini berkumpul di halaman belakang, bersiap-siap untuk memotong daging. Potongan-potongan besar itu teronggok di karung goni.

Sinan sudah mandi dan berganti baju, bahkan sebelum hari terang. Gadis itu kini duduk di tepi ranjang, menyapukan pandangan ke penjuru ruangan. Riak perasaan muram itu muncul kembali.

           Seseorang masuk ke kamar Sinan tanpa permisi. Gadis kecil berusia hampir sebelas tahun tetapi tinggi badannya hanya berbeda setengah senti dari Sinan. Ia memiliki mata belo dengan sarang rambut bergelombang. Gadis kecil itu berdiri dengan sikap defensif, tetapi tak bisa menahan diri untuk melihat Sinan lebih dekat.

           “Yaa ajnabiyat, masmuk?” kata gadis itu.

Lihat selengkapnya