Sebha, Libya. Pertengahan Agustus 2010
Udara dingin padang pasir melintasi bukit-bukit sebelah barat untuk menemui udara bulan Agustus. Dalam beberapa jam, kabut tipis memasuki kota dalam kegelapan seperti kulit buah persik. Jarak pandang tidak lebih dari satu langkah panjang kedepan. Jubah kabut yang merentang di sepanjang rumah-rumah penduduk, menciptakan perasaan muram yang makin berlapis dalam hati gadis itu. Begitu jauh dari rumah.
Mobil berhenti di ujung jalan setapak dan menurunkan ketika penumpang itu lalu pelan-pelan beranjak.
Ragib berjalan lebih dulu sebagai pemandu, sambil menenteng kedua koper gadis itu. Sementara Sinan dan Nawal berjalan bersisian mengikuti langkah lelaki jangkung di depan mereka.
Mereka memasuki kompleks yang berisi tiga bangunan bercat putih dengan kubah di atasnya, yang ditata mengelilingi pekarangan penuh pohon. Suara riuh orang-orang di tengah keheningan subuh, menyambut ketiganya.
Sinan dan Nawal langsung dihampiri beberapa orang perempuan. Nawal menyapa para perempuan itu, menanyakan kabar dan jenis basa-basi lainnya. Sementara Sinan dimbimbing oleh seorang perempuan memasuki ruangan luas berdinding warna toska mengkilap dihiasi furniture keramik dan timah dari Cina.
Perempuan itu menawari Sinan duduk di pojok. Gadis itu duduk bersandar pada bantal berbungkus satin yang merapat ke dinding. Sejenak, pikiran gadis itu menerawang. Di tengah-tengah riuhnya gemericik obrolan kaum perempuan ditingkahi nada bas yang berat dari kaum lelaki. Sinan menghela napas dan dalam cepat menguap di udara. Beberapa jenak kemudian, Nawal menghampiri Sinan dengan sebuah nampan berisi jus apel segar dan sepiring kudapan.
“Kamu istirahat sebentar di sini, ya? Kamar untukmu sedang dipersiapkan.” Ujar Nawal.
“Kukira aku akan menginap di kamarmu?” Sinan bertanya dengan heran.
“Aku tak tahu seperti apa di daerah asalmu, tapi di sini tempat untuk tamu dipisahkan dengan tuan rumah.”
Sinan terdiam. Raut wajahnya tampak bimbang.
“Jangan khawatir begitu. Kita kan tinggal serumah. Kamu masih bisa melihatku setiap hari kalau-kalau kamu rindu.” Gadis berhidung mancung itu berkelakar.
Sinan memaksakan sebuah senyum hadir. Senyatanya, batin gadis itu masih dipekati kegetiran.
“Ya, sudah. Kamu istirahat saja. Aku masih harus mengerjakan beberapa hal.” Nawal menepuk pelan lutut Sinan sebelum beranjak.
Tidak lama setelahnya, Sinan tersentak oleh langit yang menderau dengan paduan suara muazin yang nyaris serempak. Berombak. Saling bersahutan. Di Indonesia, ia sudah sangat terbiasa mendengar kumandang azan pada setiap waktu salat. Namun, mendengarnya nun jauh di tempat asing, menciaptakan riak perasaan yang benar-benar lain. Seperti ada listrik yang menjalari punggungnya. Lembut namun bertenaga.
Para lelaki bangkit. Saling mengajak. Saling mendahulukan untuk berangkat ke masjid. Dari posisinya berada, Sinan memindai keberadaan Ragib. Namun sosok itu tak tampak.
Mungkin sedang istirahat. Batin Sinan.
Kaum perempuan juga bangkit. Saling mengajak satu sama lain.
*****
Matahari baru saja naik seinci, namun kegiatan di rumah itu sudah masuk gigi dua. Kegiatan terpusat terutama di dapur. Beberapa perempuan tetangga datang membawa berupa-rupa bahan makanan dan bumbu dapur dalam jumlah yang banyak, serta daging domba yang disembelih beberapa waktu sebelumnya.
Para perempuan kini berkumpul di halaman belakang, bersiap-siap untuk memotong daging. Potongan-potongan besar itu teronggok di karung goni.