Menuju Titik Nol

Murasaki Okada
Chapter #7

Misa Perpisahan

Victorville, California Oktober 2022

Antrean pelayat yang hendak memasuki aula tampak statis. Suasana berkabung begitu kental memenuhi udara. Gumaman ucapan belasungkawa disertai pelukan, juga wangi parfum menyebar dalam gereja Victorville SDA Lorene Dr.

Tidak lama setelah mereka tiba, Lockon mengantar Sinan ke salah satu bangku di barisan depan. Awalnya Lockon menawari Sinan untuk mengantarnya ke sebuah motel terdekat dan menunggu Lockon selama prosesi pemakaman. Dia tahu betapa gadis itu sangat ketat menjaga dirinya agar tidak terlibat dalam prosesi agama lain. Tetapi Sinan berkata tidak mengapa, dia akan tinggal dan menunggu hingga Lockon menyelesaikan tugasnya. Lockon kemudian mohon diri untuk bergabung bersama ibu dan bibinya yang duduk saling bersisian tidak jauh dari tempat Sinan berada.

           Pipa organ mengembuskan nada-nada teredam lagu ‘Mama Liked the Roses’ dan duka keluarga yang ditinggalkan Irene Ocampo. Irama sendu menyeruak di tengah-tengah keluarga yang menangis. Mereka berbaris rapat bersama-sama, dan saling berpelukan. Berdekapan di dekat peti jenazah serupa satu jantung besar yang memompakan ketabahan.

           Dibutuhkan setidaknya enam orang lelaki dewasa untuk mengangkat peti putih berkilau berhias ukiran jalinan pohon ara itu. Ibu dan bibi Lockon yang akan memimpin prosesi.

           Ibu Lockon, Ariana Joules, seorang perempuan bertubuh subur, berwajah hangat dengan rambut sewarna madu yang ditahan dengan ikat rambut. Ia tampak tulus. Tipe pribadi yang selalu membantu menyebarkan berita orang hilang di media sosial. Sedangkan saudarinya, Samantha, bertubuh lebih pendek namun berisi, dengan wajah bulat dan kulit kecoklatan karena terbakar matahari. Keduanya mengenakan blus hitam yang tampak kaku menutupi hingga bawah lutut.

           Di belakang mereka, Lockon yang meski dalam suasana berkabung, tampak begitu memukau. Kepala berambut cokelatnya yang bergelombang, tertunduk ke dada. Tak ada isak, namun air mukanya muram. Sinan menatapnya Lockon lekat-lekat dan segera menyadari bahwa dirinya disergap oleh kecemasan. Takut kalau-kalau Lockon tiba-tiba lenyap dari pandangannya.

           Prosesi berjalan melewati barisan pengunjung. Peti itu tampak elegan dan mewah. Sinan membayangkan tubuh Irene terbaring di dalam, dengan pakaian dan make up terbaik, kedua tangan terlipat di atas perut.

           Andai ini penyelenggeraan jenazah Islam, takkan ada lagu pengiring jenazah, peti mewah maupun make up sempurna. Pikiran Sinan seketika melayang ke ingatan tentang hari kematian Bapak, tepat satu pekan setelah kepulangannya dari Libya. Wajah yang membujur itu pucat, tubuh kaku diselimuti kain panjang. Dia tak menangis hari itu. Tak sejenak pun Sinan tampak menitikkan air mata. Hatinya teredam kemarahan ganjil yang dia sendiri tidak tahu ditujukan pada siapa. Tuhan? Takdir? Bapak? Atau bahkan dirinya sendiri.

           Selagi pastor menggumamkan doa pembuka dalam jubah terbaiknya, para hadirin berdiri sesaat, lalu duduk, dan berdiri lagi. Sementara gadis berhijab itu tetap berada dalam posisi duduknya. Kartu doa mulai dibagikan. Sinan kebagian satu. Dia membalik-balikkan benda seukuran kartu undangan pernikahan itu. Di bagian depan kartu, tampak figur Bunda Maria yang menggendong bayi Yesus, dan di bagian belakang tercetak:

           Irene Marie Ocampo. Ibu tercinta, nenek, bibi, sepupu, dan teman terkasih. Heaven was needing a hero.

           Foto Irene berukuran besar dipajang dekat peti. Foto yang memperlihatkan dirinya saat masih muda. Gadis yang cantik. Sinan menduga-duga, Irene mungkin adalah gadis yang sangat populer pada masanya.

           Ariana kemudian berjalan ke podium, salah satu tangannya terlihat mencengkram secarik kertas. Wajah perempuan itu muram tetapi suaranya terdengar tenang ketika ia mulai berbicara.

           “Ini suratku untuk Irene Marie Ocampo, ibuku terkasih. Momma, my queen. Tidak ada kata yang bisa menggambarkan perasaanku saat ini karena kehilangan dirimu. Kepergianmu terlalu mendadak, sampai-sampai aku masih kesulitan untuk memproses semua ini…” Ariana berusaha meredam suara isak agar tidak berubah menjadi semburan tangis.

           Hening selama beberapa saat. Para pelayat menanti Ariana melanjutkan pidatonya, terpengaruh oleh atmosfer kemuraman yang menaungi aula saat itu.

Lihat selengkapnya