Sebha, awal September 2010
Dalam panas sore hari, Sinan duduk di dipan, di sudut pekarangan yang teduh. Sambil melemparkan biji-bijian ke arah sekumpulan ayam berbadan gemuk. Kompleks rumah keluarga Egmari tampak seperti oase yang tenteram. Pagarnya dikelilingi rempah-rempah kering yang wangi dan pohon buah yang rindang.
Esraa tiba-tiba mendatangi Sinan sambil membawa buku catatan milik Sinan yang sampul depannya penuh dengan tempelan gambar karakter anime Jepang.
“Dari mana kamu dapatkan ini?” dengan cepat Sinan menyambar benda itu dari tangan Esraa.
“Dari tasmu.” Jawab Esraa santai.
“Kamu seharusnya tidak membongkar barangku. Itu tidak sopan.”
“Ragib juga punya yang seperti itu.” Ujar Esraa tampak tidak peduli dengan sikap posesif Sinan.
“Ragib punya apa?” Sinan berusaha memahami maksud ucapan Esraa.
Gadis kecil itu tidak menjawab. Lagi-lagi menyelonong pergi, meninggalkan Sinan yang terbengong-bengong. Tapi tidak lama setelahnya ia datang lagi lalu menyerahkan sebuah binder pada Sinan.
Benak gadis itu bertanya-tanya gerangan apa benda yang diangsurkan Esraa padanya. Sekilas Sinan menangkap pemandangan tidak asing di bagian sampul. Secara otomatis tangan Sinan membalik halaman binder itu dan terpana selama beberapa saat. Ia tidak menyangka dalam binder itu bertaburan gambar karakter anime Jepang yang sebagian besar Sinan hapal.
“Ragib bilang ini harta karun miliknya. Tapi dia tidak keberatan aku meminjamnya, karena dia sayang padaku.”
“Oh ya? Jadi ini milik Ragib?” Sinan mengulas sebuah senyum yang sebenarnya lebih meyerupai seringai. Ia tidak pernah membayangkan, dengan senyuman pahit-manis yang memikat dan suara dalam yang membuat Sinan berdebar-debar tidak karuan, Ragib ternyata menyimpan sisi tak terduga dalam dirinya.
“Aku sudah bilang padamu.” Esraa berkata sambil menggerakkan jemarinya dengan ekspresi dramatis. “dia membiarkanku tetap menyimpan ini karena aku berjanji tidak akan merusaknya. Aku ini anak yang baik. Aku selalu menepati janjiku.”
Objek yang menjadi topik pembicaraan tahu-tahu muncul di pekarangan. Matanya melebar saat melihat Sinan duduk bersama Esraa di dipan.
“Kamu sedang apa di sini, Esraa?” ujar Ragib.
Sinan sontak mengangkat wajah dan menatap lelaki itu. Sesaat Sinan terpana, memincingkan mata. Ragib saat itu mengenakan galabaya putih, tampak memukau dalam limpahan cahaya matahari oranye. Sementara Ragib dijangkiti sebuah perasaan aneh yang menempel seperti sel kanker. Ia tidak habis mengerti mengapa akhir-akhir ini dirinya terobsesi memerhatikan Sinan. Gadis itu berada beberapa kaki darinya. Mereka tidak berbincang. Belum. Tetapi Ragib tidak kuasa menahan pandangannya pada Sinan. Barangkali suasana yang tercipta saat itu serupa ketika Adam bertemu Hawa kembali di dunia usai berpuluh tahun berpencar. Ada rindu asing yang berpendar-pendar.
Menyadari dirinya dilahap oleh sebuah perasaan aneh, Sinan buru-buru menarik pandangannya, lalu secara impulsif menumpukannya pada buku di pangkuannya.