Menuju Titik Nol

Murasaki Okada
Chapter #11

Pertanda

Tripoli, awal Oktober 2010

            Ragib mengetik SMS sambil berjalan ke depan pintu apartemen lalu mengetuk. Semenit berlalu, tindak seorang pun membuka pintu, jadi ia mengetuk lagi lebih keras karena berpikir ketukan pertama mungkin tidak terdengar. Tidak lama setelahnya, kenop bergerak dan pintu terbuka lalu Sinan muncul dari baliknya. Seketika ia terpaku melihat lelaki jangkung berkulit gelap itu berdiri di hadapannya.

Sinan menatapnya, terkesiap. Ragib balik menatap. Lelaki itu jadi tidak bisa mengendalikan adrenalinnya yang berdesir di setiap inci organ-organnya.

Ketika tak satupun dari mereka yang mengalihkan pandangan, Sinan terpaksa menelan gumpalan besar yang menyumbat kerongkongannya. Lalu dengan cepat gadis itu memutuskan kontak. Secara impulsif Sinan menoleh ke belakang, dan tersadar bahwa Nawal belum kembali sejak keluar sekitar satu jam lalu.

            “Nawal sedang keluar.” Ujar Sinan serta-merta. Ia tidak mengerti mengapa debaran jantungnya tiba-tiba menggila.

            “Ya, aku tahu. Kami baru saja berkirim SMS.”

            “Oh.” Sahut Sinan. Kalau begitu bukankah seharusnya dia datang saat Nawal kembali? Benak Sinan memerotes.

            “Aku akan menunggunya.” Ragib memberi isyarat dengan matanya bahwa ia akan menunggu di dalam apartemen.

            “Oh, ya. Tentu.” Sinan berkata rikuh. Membuka pintu lebar-lebar dan buru-buru menyingkir dari ambang pintu. Ragib masuk, sementara Sinan bergegas ke ruang tengah.

            “Aku akan membiarkan pintunya tetap terbuka.” Ujar Ragib, seolah memahami sumber kerikuhan Sinan. Ia lalu bergerak ke ruang tamu. Ragib tidak langsung menyamankan diri dengan duduk di sofa. Ia berjalan ke tengah-tengah ruangan dengan pandangan menjelajahi seisi ruang tamu.

Lelaki itu termenung-menung. Sejenak tersadar bahwa sejak adiknya tinggal di Tripoli untuk kuliah, ini pertama kali ia benar-benar berkunjung ke apartemen Nawal. Sejumput rasa bersalah menggelayuti batinnya. Meskipun ia tahu Nawal adalah sosok gadis mandiri yang mampu mengurus keperluannya sendiri, sebagai kakak, seharusnya Ragib lebih memerhatikan Nawal.

            Di dapur, Sinan menyibukkan diri mempersiapkan jamuan kecil untuk Ragib. Hidangkan, lalu masuk ke kamar. Benaknya mengulang-ulang kalimat itu. Sebenarnya ia bisa saja langsung masuk ke kamar dan membiarkan Ragib menunggu adiknya tanpa perlu Sinan repot-repot menghidangkan sesuatu. Tetapi memberi kesan buruk tentang dirinya pada Ragib adalah hal terakhir yang ingin ia lakukan.

            Hidangkan dan masuk ke kamar.

            Sinan mencegah dirinya mengkhayalkan Ragib lebih jauh ketika menuangkan air panas ke dalam cangkir. Ia berusaha sebisa mungkin mengarahkan pikirannya supaya tetap berfokus pada takaran gula yang ia masukkan ke dalam cangkir, suhu air panas pada titik didih yang tepat, serta jumlah adukan.

            Ketika segalanya siap, Sinan menghadap Ragib yang pada akhirnya mengambil tempat di sofa panjang, ia membawa sebuah nampan berisi secangkir kopi dan kue kering.

            Ragib menatap gadis itu ketika meletakkan nampan di atas meja dan terpana. Ia merasa senang dengan perlakuan spontan yang dilakukan Sinan. Benaknya membayangkan hal-hal seperti: jika ia dan Sinan hidup bersama, apakah gadis itu akan melakukan hal yang sama setiap kali dirinya pulang ke rumah. Pikiran itu membuatnya tersenyum samar. Ahh, ia suka momen itu. Menyukai sore itu. Menyukai hijab merah jambu yang dikenakan Sinan. Menyukai cara gadis itu meletakkan cangkir dan stoples.

            Sementara Sinan berusaha menyelesaikan semua proses itu dengan cepat. Ragib tersenyum geli saat melihat ke meja dan mendapati ada yang keliru.

            “Aku lupa bertanya, kamu sekarang semester berapa?” Kata Ragib sebelum gadis itu sempat beranjak dari hadapannya.

            Pertanyaan itu memaksa Sinan melakukan kontak mata, meski tadi ia sudah membulatkan tekad untuk tidak beriteraksi lebih lama dengan Ragib dan langsung pergi. Tapi pertanyaan Ragib mengganggunya. Untuk apa Ragib bertanya soal itu? Bukankah seharusnya dia sudah tahu, mengingat bahwa Sinan sekelas dengan adiknya.

Lihat selengkapnya