Menuju Titik Nol

Murasaki Okada
Chapter #12

Asimilasi


Tripoli, Oktober 2010

            Sinan memandangi kotak baklava di atas meja sambil terbengong-bengong. Satu jam lalu Ragib datang dan menyerahkan benda itu padanya. Wajahnya berseri-seri usai Sinan menerima kotak itu dari tangannya.

            Tidak jauh darinya, Nawal duduk di sofa depan televisi. Masih terbuai dengan drama seri dari Mesir yang kini memasuki babak baru penuh intrik. Ia berpura-pura tidak menghiraukan kekalutan Sinan, meski dalam hati ia bersorak kegirangan.

            Gadis itu masih diliputi gelembung kegelisahan yang sama setelah percakapan dengan Nawal semalam, tentang kemungkinan Ragib suka padanya. Setelah obrolan itu, Sinan iseng mengakses internet dan membuka situs pencarian. Ia mengetik ‘tanda-tanda cowok tertarik padamu’ dalam Bahasa Indonesia lalu menekan tombol ‘cari’. Tatapan gadis itu terpancang ke hasil pencarian paling atas. Sebuah artikel berjudul Kenali Tanda Cowok Naksir Kamu memantik rasa ingin tahunya. Sinan mengklik tautan itu. Terpampang artikel sepanjang empat halaman yang menjelaskan panjang lebar tentang psikologi pria yang sedang jatuh cinta. Salah satu tanda yang disebutkan adalah sering melakukan kontak mata dan memberi hadiah.

            Sebenarnya, pemaparan dalam artikel itu sudah terlalu jamak ia jumpai dalam adegan novel. Para penulis mengemasnya dalam adegan-adegan unik dan mudah diingat. Dulunya, Sinan berpikir gestur-gestur semacam itu tidak realistis. Terlalu sistematis dan dibuat-buat. Ia berpikir, lelaki tidak akan segamblang itu ingin diketahui isi kepalanya. Mereka tak mungkin melakukan maneuver terang-terangan seperti itu.

            Gadis itu termenung-menung. Asumsinya, yang selama ini tertanam kuat serupa potongan firman Tuhan yang dikutip orang-orang suci dan diyakini oleh jutaan umat, tertebas oleh kenyataan bahwa Ragib secara nyata menunjukkan tanda itu. Dugaan Nawal semalam telah terkomfirmasi.

            “Kamu yakin baklava ini bukan untukmu?” kata Sinan sambil menatap benda itu dengan enggan. Ia ingat tempo hari Nawal menyebut-nyebut soal kepingin makan baklava kepada kakaknya.

           “Memangnya tadi Ragib bilang apa?”

            Gadis itu mengendikkan bahu dengan frustrasi. “Hadiah kecil untukmu.” Suara Ragib saat mengatakan itu tergiang-ngiang dalam kepala Sinan.

            “Berarti memang untukmu.”

            “Tapi dalam rangka apa? Ini kan bukan ulang tahunku?”

            “Memang sejak kapan kami merayakan ulang tahun?” Nawal menepuk jidatnya dengan gemas.

            Sinan mendesis. “Bukannya waktu itu kamu yang minta baklava?”

            “Ya, tapi sepertinya kakakku itu lebih perhatian padamu.” Nawal menggoda teman serumahnya itu.

            Sinan melesakkan diri ke sandaran sofa. Sambil mencoba menyingkirkan bayang Ragib yang dengan keras kepala terus muncul dalam benaknya.

            Tidak tahan dengan kekalutan yang mengungkung Sinan, Nawal mematikan televisi lalu menggeser duduknya lebih dekat dengan Sinan.

            “Apa sih, masalahmu sebenarnya? Kenapa gagasan tentang Ragib yang suka padamu begitu mengganggu? Kalau memang kamu tidak suka padanya, ya sudah. Tinggal abaikan saja apa pun yang dia lakukan. Laki-laki bakal paham sendiri kalau mereka tidak dipedulikan.” Nawal mengiba-ngibaskan tangan dengan gerakan dramatis. “Kecuali, kalau kamu juga punya perasaan yang sama…”

Lihat selengkapnya