Tripoli, keesokan harinya
Lift di Gedung itu rusak lagi sehingga Sinan dan Nawal harus mendaki tangga sampai ke lantai tiga. Dalam perjalanan pulang, kedua gadis itu mampir untuk membeli ikan dan sekantong besar sambusa. Ikan untuk Sinan, sambusa untuk cemilan Nawal. Sebenarnya ikan adalah makanan yang jarang dikonsumsi warga lokal. Tetapi Sinan bersikeras untuk membelinya beberapa bulan sekali. Terutama saat dia sangat rindu makanan Indonesia.
“Oh, aku benar-benar kelaparan!” demikian keluh Nawal sejak mereka mendaki anak tangga pertama.
Setelah tiba di puncak tangga, Nawal buru-buru menyambar kunci dari tangan Sinan dan mendahuluinya berjalan ke pintu. Sementara Sinan menyempatkan diri untuk menyapa tanaman palem yang mendekam dalam pot di luar pintu apartemen mereka. Makhluk itu tampak tidak terpengaruh hawa panas. Daun-daunnya lebat menghijau, seolah mengejek musim kemarau sebab tak mampu membuat si palem menyerah pada sengatan panas.
Nawal menjatuhkan buku teks kuliahnya di meja ruang tamu, lalu bergegas membuka bungkusan sambusa dan melahap makanan itu dengan satu kali suapan, bahkan tanpa menanggalkan hijabnya lebih dulu. Ia mendorong sambusa kedua ke dalam mulutnya sementara jemarinya yang lain mengetik SMS.
Tidak lama berselang, terdengar ketukan dari pintu yang dengan cepat direspon oleh Nawal dengan “Biar aku saja yang buka.” Gadis itu bergerak ke pintu sambil menepiskan remah-remah sambusa di telapak tangan.
“Ragib.” Ia berkata seolah terkejut, padahal tahu bahwa sang kakak akan datang.
“Aku ingin bicara dengan Sinan.” Tanpa perlu mendengar sang adik bertanya apa yang sedang Ragib lakukan di sini.
“Olala...” Dendang Nawal. Ungkapan favoritnya yang baru yang ia gunakan untuk mengomentari apapun yang menurutnya menyenangkan. Ia mendapatkan itu karena keseringan menonton drama. “Masuklah.” Pintanya seperti seorang resepsionis menyilakan tamu. Ia kemudian pergi ke kamar Sinan untuk meberitahu gadis itu.
“Jangan lepas hijabmu dulu. Ada yang ingin menemuimu.”
“Menemuiku? Siapa?” Sinan memandang Nawal dengan sikap waspada, seolah mengantisipasi sesuatu.
“Ragib. Dia bilang ingin bicara denganmu.”
Sinan enggan bergerak. Ia tak merasa mengatur janji untuk bicara dengan lelaki itu.
“Dia belakangan ini jadi sering menemuimu, ya?” Nawal berujar riang. “bagus juga sih.” Lanjutnya lalu terkikik.
Gadis itu tetapi tidak bergerak dari posisinya.