Menuju Titik Nol

Murasaki Okada
Chapter #14

Garis Takdir

Tripoli, Januari 2011

           Tempat itu menawarkan suasana keintiman yang tenang. Terletak di kawasan bisnis Jarabah Syari’, Taksim Garaba Restaurant memiliki penerangan yang temaram dengan ornamen historis timur tengah yang spektakuler serta standar kuliner gaya barat.

           Meja yang Ragib dan Sinan tempati dilimpahi cahaya keemasan dari lampu-lampu yang meredup dan kerlap-kerlip lilin yang terpantul pada permukaan gelas-gelas kristal. Gadis itu duduk dengan punggung menghadap dinding sambil berselonjor di kursi. Untuk pertama kalinya malam itu Ragib memberanikan diri mengajak Sinan pergi berdua saja usai masing-masing mengungkapkan perasaan suka satu sama lain dan menjalin kebersamaan yang begitu rapat selama berbulan-bulan.

Pada momen ganjil malam itu, Sinan menunduk di sela-sela pikirannya yang tak menentu, pandangannya terpaku pada hidangan di hadapannya. Daging bebek yang berenang dalam cairan berbumbu berupa bawang bombay, apel dan walnut yang manis, irisan daging anak domba panggang dengan curahan saus kenari tumbuk dan sari delima, beserta sayuran hijau yang lembut yang menemani kuskus panas, serta segunung kentang goreng.

Sementara Ragib saat itu terpaku menatap Sinan. Sinan dalam pandangan Ragib tampak berseri-seri dan cantik dengan hijab berwarna lilac. Selama beberapa saat lelaki jangkung itu terpana. Ia seakan melihat butiran kristal berlompatan di seluruh permukaan hijab dan wajah Sinan.

           “Apa kita sedang merayakan sesuatu?” Ujar Sinan. Dagu gadis itu terangkat, mengalihkan pandangan kepada Ragib dan memergoki lelaki itu tengah menatapnya. Jenis tatapan intens yang membuat Sinan gugup.

           “Kupikir kita sepakat untuk keluar makan malam berdua…” Ragib menggantung ekor kalimatnya, sejenak berusaha memahami arah pertanyaan Sinan.

           “Ya, we did agree. Maksudku dengan hidangan sebegini mewah, kupikir mungkin kita sedang merayakan sesuatu?”

           Ragib mengedarkan pandangannya di atas meja kecil itu, agak heran. Pandangannya kemudian beralih kembali pada Sinan.

           “Well, to be fair, ini tidak mewah sama sekali. Malah bisa dibilang reguler, it’s so common here.

           “Tapi makanannya banyak sekali, Ragib. Bagaimana kita akan menghabiskan ini semua?” Ujar gadis itu.

           “Really?” Ragib mengerutkan bagian atas kedua alisnya. Satu tangan terulur untuk meraih gelas berisi air di sebelah kanannya.        

“Ya, dan terus terang saja aku hanya bisa menghabiskan sepertiga bagian kuskusnya.”

Ragib yang saat itu sedang meneguk air dingin tidak kuasa menahan tawa dan nyaris menyemburkan air itu dari mulutnya.

“Astaga, kenapa aku selalu lupa kalau porsi makanmu itu sangat kecil?” Ragib berkata kemudian. “Baiklah, kamu makan saja sebisamu, aku akan menangani sisanya.”

Sinan mengangguk penuh antusias menyambut ide Ragib. Ia mulai mengisi piringnya dengan beberapa tangkupan kecil nasi kuskus.

Ragib mengangkat pisau dan garpu untuk mengambil sepotong kecil dada bebek, lalu meletakkannya di piring Sinan. “Coba daging bebeknya juga. Ini salah satu kesukaanku.”

Sinan mengulum bibir, merasakan sedikit sensasi mual di tenggorokannya. Dia sebenarnya tidak suka daging bebek. Sinan hanya pernah satu kali mencicipi daging bebek selama hidupnya dan dia memutuskan untuk tidak pernah lagi menyentuh daging bebek.

“Kamu belum cerita padaku soal alasanmu memilih kuliah di Tripoli dan mengambil jurusan tafsir Al-Quran.” Ragib berkata di sela-sela suapan. Bukan pertanyaan itu yang sebenarnya ingin dia ajukan. Ragib tahu ada banyak hal lain yang lebih penting untuk dia ketahui tentang Sinan.

“Hmmm…yah…aku tahu, orang seharusnya pergi ke Madinah kalau mau belajar tafsir Al-Quran…”

“Tidak, bukan itu maksudku, Sinan—astaga, kenapa lidahku berat sekali menyebut nama itu—maksudku…apa ada alasan khusus kamu memilih Tripoli?”

Lihat selengkapnya