Menuju Titik Nol

Murasaki Okada
Chapter #16

Knitting Dreams

Obari, Agustus 2011

           Sinan terhuyung-huyung, berusaha menyeimbangkan tubuhnya ketika kakinya menapaki tanah. Enam belas jam terombang-ambil di atas Jeep membuatnya mengalami jetlag parah. Dia butuh tidur. Sinan ingin tidur setidaknya sepuluh jam untuk mengembalikan seluruh tenaganya yang terkuras tandas selama perjalanan.

           “Sini, kemarilah.” Ragib berkata seraya meraih tubuh Sinan yang sudah nyaris tumbang dan mendekatkannya.

           Gadis itu mendongak untuk menatap Ragib. Lelaki jangkung itu tampak seperti patung Obeliks yang menjulang kokoh. Sinan tidak mengerti bagaimana Ragib bisa tegak setelah enam belas jam mengemudi tanpa digantikan. Dari mana dia mendapat tenaga sebesar itu? Pikiran itu menari-nari dalam benak Sinan.

           “Lewat sini.”

           Mereka berjalan menyusuri jalan lebar yang tersusun dari bata, diapit pohon pakis yang meledak dengan warna hijau, menciprati pemandangan sekeliling dengan keteduhan. Tak ada gedung, tetapi bangunan-bangunannya tampak modern, dicat dengan beraneka warna kuning, oranye dan putih. Mereka kemudian berjalan melewati gang di antara dua bangunan yang berujung di sebuah gerbang logam biru berkilat-kilat. Sinan masih mengeratkan genggaman tangannya di lengan Ragib saat mereka memasuki pekarangan luas, teduh dan ditata dengan apik. Ubinnya tersusun dari keramik kuning dan biru, membentuk pola mozaik pepohonan dan burung, serta terdapat air mancur di tengah-tengah. Sinan tidak mengira akan menemukan keindahan seperti ini di tengah-tengah gurun pasir.

           Akhirnya mereka tiba di sebuah kompleks penginapan berlantai dua dengan bangunan memanjang di kiri dan kanan. Itu adalah penginapan yang telah direservasi Ragib sejak berbulan-bulan lalu.

           Ragib terus membimbing langkah Sinan ketika menaiki tangga. Balkonnya mengarah langsung ke pekarangan dengan pemandangan air mancur. Ragib mengantar Sinan ke sebuah kamar paling ujung.

           “Ini kamarmu.” Ujar Ragib. “Kuncinya tergantung di balik pintu.”

           “Bagaimana denganmu?”

           “Kamarku persis di bawah kamar ini. Kalau-kalau kamu butuh sesuatu.”

           Sinan mengangguk.

           “Sekarang kamu istirahat. Aku akan ke sini lagi besok pagi.”

                                                                       *****

           Ragib menjinjing sebuah totebag di satu tangan, dan menggandeng tangan Sinan dengan tangan yang satunya. Sinan merasa begitu rikuh bergandengan tangan di tempat terbuka. Mereka tak pernah melakukan itu di Tripoli. Meski Ragib sudah menjelaskan bahwa orang-orang di daerah itu cenderung mengesampingkan hukum syariat dan batas antara pria dan wanita, namun tak serta menepis kerikuhan gadis itu.

           Lepas salat Asar Ragib dan Sinan meninggalkan penginapan menuju destinasi yang sudah direncanakan Ragib jauh hari sebelumnya. Selama hampir setengah jam mereka berjalan menyusuri padang pasir yang dijejeri pepohonan kurma yang rimbun dan tampak ranum.

           Mereka akhirnya tiba di tepi oasis. Selama beberapa saat Sinan terpana menyaksikan pemandangan menakjubkan di hadapanya. Sebuah oase biru membentang sejauh jangkauan pandang. Arus kecil keperakan tampak menggelembung di permukaan air. Suasana saat itu hening. Daun-daun kurma dan pakis di tepian seperti berbincang lirih. Aroma lumut yang dibawa angin dari tengah oase memenuhi rongga dada Sinan.

           Ragib menghamparkan kain wol di atas pasir, di bawah salah satu pohon pakis yang rindang, lalu mengundang Sinan untuk ikut duduk.

           “Bagaimana menurutmu?” ujar Ragib begitu Sinan duduk di sampingnya.

           “Aku tidak tahu mesti bilang apa. Tempat ini benar-benar menakjubkan. Aku belum pernah melihat tempat seindah ini, Ragib.”

Lihat selengkapnya