Menuju Titik Nol

Murasaki Okada
Chapter #17

Order out of Chaos

Tripoli, Agustus 2011

           Gerbang utama kampus International Islamic Call College tertutup. Beberapa lelaki berseragam militer dilengkapi senjata tampak berjaga di luar dan di dalam kampus. Sinan dan Nawal menghentikan langkah, lalu mengamati.

           “Ada apa ini? Kemana semua orang?” Nawal menoleh ke kiri dan kanan, berusaha memahami situasi ganjil saat itu. 

           Salah seorang penjaga berseragam itu dengan cepat menghampiri Sinan dan Nawal.

           “Kalian tidak boleh berada di sini. Pulanglah!” sergah lelaki itu dengan suara yang cukup lantang. Sebuah pikiran meledak dalam kepala Sinan. Ingatannya terlempar ke masa di mana peristiwa sembilan delapan terjadi. Lelaki berseragam militer itu mengingatkan Sinan pada dua anggota PM yang memintanya untuk pulang ke rumah. Suasana mencekam yang sama mendadak menyelimuti atmosfer di sekitarnya.

           “Apa yang terjadi? Mengapa kampus kami ditutup?” Nawal memberanikan diri untuk bertanya.

           “Ibukota sedang terbakar. Sebentar lagi akan ada perang. Jadi pulanglah.” Lelaki itu mengibaskan tangan menghalau kedua gadis itu pergi, kemudian ia beranjak dan kembali bergabung dengan rekannya yang lain.

Sinan melihat ke sepanjang jalan yang lengang, mulai dihinggapi perasaan khawatir. Kenapa tiba-tiba jadi begini? Batin gadis itu. Benaknya seketika diserbu oleh serangkaian berita yang terus-menerus ditayangkan di televisi sejak satu minggu belakangan. Tentang gerakan pemberontak yang berhasil menguasai kota Zawiyah dan terus bergerak ke Tripoli. Lalu benak Sinan mundur lagi ke peristiwa demonstrasi oleh warga Libya di kota Benghazi pada 15 Februari lalu yang berubah menjadi kerusuhan ketika aparat keamanan kota Benghazi, merespon aksi gerakan massa menggunakan kekerasan. Aksi itu sendiri dilatarbelakangi oleh kebijakan yang dilakukan Qaddafi yang memiliki tujuan untuk mempertahankan dirinya sebagai pemimpin tertinggi di Libya. Apakah benar-benar akan terjadi perang?

“Ayo, Sinan kita pulang sekarang.” Ujar Nawal.

“Apakah situasinya akan memburuk?” Sinan berkata dengan kecemasan yang tak bisa disembunyikan.

“Hanya Allah yang tahu. Sekarang lebih baik kita pulang.” Nawal menyambar lengan Sinan lalu kedua gadis itu bergegas pergi.

                                                           *****

“Kamu di mana?” sergah Ragib begitu mendengar suara Sinan di ujung sambungan.

“Aku dan Nawal sudah di rumah.” Gadis itu berkata seraya melirik Nawal yang sedang memutar kunci.

“Kalian tadi keluar? Itu riskan sekali. Kalian dari mana?” suara Ragib terdengar khawatir.

“Kami ke kampus, tapi tempat itu ditutup dan dijaga oleh militer. Apa yang terjadi, Ragib?”

Sinan mendengar helaan napas berat lelaki itu. “Aku tidak bisa memberitahumu sekarang. Pokoknya situasi di Libya sekarang benar-benar buruk. Terutama di ibukota. Kalian jangan meninggalkan rumah, sama sekali. Aku akan ke sana untuk mengecek keadaan kalian berdua. Secepat yang aku bisa.”

Lihat selengkapnya