Indonesia, awal Februari 2023
Rumah itu seakan mengarahkan pandangan kepadanya. Dingin. Terpencil. Menjaga jarak. Di halaman, rumput dan pakis tumbuh liar, beberapa batang pisang serta sebuah pohon pepaya kurus yang buahnya tidak lebih besar dari kepalan tangan anak-anak, menyemarakkan laman yang tak terlalu luas itu. Dalam keremangan menjelang matahari menurunkan tirainya, kawanan burung-burung –yang ia tak tahu namanya— terbang beriringan, menyelesaikan pengembaraan mereka pada akhir hari. Angin lembut menyambangi pucuk-pucuk kembang sepatu yang tumbuh di sepanjang pagar. Gigil. Segigil hari yang sebentar lagi memudar. Ketika itulah Sinan berziarah, menyinggahi sobekan kecil masa lalunya. Sambil termenung-menung, benak Sinan bertanya-tanya siapa pemilik rumah itu sekarang.
“Permisi, cari siapa?” satu suara berujar di belakang Sinan. Ia tertegun. Suara itu terdengar familiar, namun sulit baginya untuk memastikan. Butuh waktu beberapa saat sebelum akhirnya gadis itu menoleh hanya untuk mendapati kakak sulungnya berdiri di sana. Sinan memincingkan mata, merasa bingung sekaligus terkejut.
“Kak Noang ngapain di sini?”
“Saya tinggal di sini.” Nuh berujar sama terkejutnya.
“Loh, bukannya rumah ini sudah dijual, ya?”
“Wah, itu ceritanya panjang. Ayo masuk dulu. Kita bicara di dalam.”
Sinan megangguk pelan lalu mengikuti Nuh masuk. Rumah warisan itu mengalami perubahan drastis. Ruang tamu sudah dilengkapi satu set sofa produksi rumahan, dihiasi perabot murahan dan vas bunga plastik. Lantainya juga sudah dimarmer dan dilapisi karpet. Tampak lebih baik ketimbang yang bertahun-tahun lalu sebelum ia tinggalkan. Sinan kemudian duduk di salah satu sofa berlengan berwarna abu-abu.
“Saya rencana baru mau ke rumah Sabrang ketemu Ibu.” Nuh berujar setelah mengambil tempat di sofa untuk satu orang.
“Saya belum ke sana.”
“Loh? Terus kamu ke sini dari mana?”
“Dari hotel.”
Nuh menyerukan ‘oh’ panjang sebagai reaksi spontan.
“Jadi kenapa kak Nuh bisa tinggal di sini?” Sinan tidak menunggu untuk mengajukan pertanyaan itu. Kebingungan kadung menyerang otaknya seperti palu. “Kak Nuh yang beli rumah ini?”
“Nggak, nggak gitu. Memang waktu itu rencananya ini rumah mau dijual. Tapi qadarallah beberapa tahun lalu saya dapat musibah. Rumah tangga saya kandas, tidak bisa dipertahankan lagi. Saya cerai. Kamu sudah dengan kabarnya, belum?”
Sinan mengangguk pelan. Ia teringat beberapa tahun lalu Mawra memberitahunya tentang perceraian Nuh.
“Habis perceraian itu saya tinggal di sini, sambil nunggu ada yang mau beli rumahnya. Ya kan, nggak enak kalau saya juga ikut numpang tinggal di rumah Sabrang. Terus nggak lama setelah itu saya nikah lagi.”
Ibu kemudian menitahkan kepada Nuh untuk membatalkan rencana penjualan rumah, dan memintanya tinggal di situ.
Baru saja Nuh hendak melanjutkan ucapannya ketika tiba-tiba seorang wanita muncul dari balik gorden pemisah. Ia terpegun sesaat melihat Sinan. Dialihkannya pandangan ke arah Nuh dengan serta-merta, lalu ia membuat isyarat dengan gerakan matanya. Setelah itu menghilang di balik gorden.
“Sebentar, ya?” Nuh bangkit, menyusul wanita tadi masuk.
Beberapa saat setelahnya, Nuh kembali dengan sebuah nampan berisi secangkir teh dan sepiring kue tradisional. “Maaf ya, hidanganya ala kadar.” Ujarnya sambil meletakkan nampan di atas meja.
Sinan lagi-lagi mengangguk. Entah sudah yang keberapa kali.
“Itu tadi Maya, istriku.” Nuh memberitahu. “Minum dulu, Nan.” Nuh memberi isyarat dengan gerakan tangan untuk menunjuk sajian sederhana di atas meja.
Tatapan gadis itu terpaku pada busa-busa kecil yang berpusar di tengah-tengah genangan berwarna kecoklatan di hadapannya. Dengan sikap antisipasi yang kompulsif, Sinan mengulurkan tangan untuk menjangkau cangkir tembus pandang itu. Pelan ia mengangkat dan mendekatkan ujung cangkir ke bibir. Seketika Sinan bergidig. Hidungnya menangkap aroma tajam sabun pencuci piring. Aroma itu entah berasal dari cangkir atau cairan teh, yang pasti Sinan mulai merasa mual. Ia memaksa diri untuk menyeruput sedikit, demi kesopanan. Suhu airnya tepat, tapi terlalu manis, kesan tehnya jadi tidak terasa, hampir nihil. Demikian benak Sinan mengeritik sambil meletakkan cangkir kembali di atas tatakan.