Indonesia, pertengahan Februari 2023
Pesta pernikahan baru akan digelar sepekan lagi. Tetapi beberapa kerabat dekat sudah mulai berkumpul di rumah itu. Suasana semacam itu selalu membuat Sinan tidak nyaman. Beruntung ada banyak ruangan untuk menampung tamu-tamu yang datang dari jauh, sehingga Sinan tak perlu berbagi spasi dengan siapa pun.
Sepagian Sinan mengurung diri dalam kamar yang ditempatinya sejak tiga hari lalu, lebih memilih melebur bersama hal-hal random di laptop. Tapi tengah hari Ibu menerobos masuk untuk mengorek Sinan keluar dari persembunyiannya.
“Aku lagi sibuk, bu.” Sinan bereaksi seolah pekerjaannya terganggu, padahal saat itu dia hanya menonton film.
“Itu bisa tunggu nanti.” Ibu menyambar tangan Sinan dan menyentaknya berdiri. “nggak sopan kamu terus ngumpet di kamar. Keluarga semua tahu kalau kamu pulang.”
Dengan enggan Sinan mengikuti Ibu ketika dirinya ditarik keluar. Dia pertama kali menjumpai salah satu kerabat yang merupakan istri dari salah satu pamannya, begitu dia tiba di ruang tengah. Wanita itu menyambut kehadiran Sinan dengan keriangan yang bagi Sinan terlalu dibuat-buat. Ia memeluk Sinan seolah gadis itu adalah keponakan kesayangannya. Sinan tidak membalas pelukan itu dan membiarkan dirinya dipeluk sedemikian rupa. Bagi Sinan, perlakuan wanita itu terlalu aneh. Sinan ingat di masa lalu dia biasanya memperlakukan Sinan seperti hantu, tak terlihat. Dengan sengaja wanita itu selalu mengabaikan kehadiran Sinan. Kenapa sekarang tiba-tiba peduli? Sesuatu semacam coping mechanism dalam diri Sinan memintanya untuk tetap waspada. Orang tak mungkin tiba-tiba berubah baik hanya karena tak bertemu setelah sekian lama. Benaknya mengingatkan.
“Ibu kamu bilang kamu pulang ke Indonesia. MasyaAllah, lama nggak ketemu kamu cantik sekali ya, sekarang.” Runut kalimatnya.
Sinan hanya menanggapi dengan anggukan canggung. Wanita itu kemudian mengedarkan Sinan pada wanita lainnya yang tengah berkumpul membentuk forum ‘pergunjingan paling akurat’ di ruang tengah, seakan-akan dialah yang paling erat hubungannya dengan Sinan.
Sambutan mereka sama palsunya dengan si istri paman. Satu per satu para wanita itu bergantian memeluk Sinan. Gadis itu mencoba mengidentifikasi mereka, namun ingatannya menolak untuk memberinya nama. Tapi dia berhasil mengingat Jamilah, sepupu yang nyaris tidak pernah berbicara pada Sinan tetapi bertingkah seolah tahu seluruh aspek kehidupan Sinan. Mula-mula Jamilah bertanya pada Sinan tentang pekerjaannya di Amerika, tapi dengan segera berpaling untuk mengobrol dengan yang lain bahkan sebelum Sinan menyelesaikan kalimatnya.
Wanita terakhir yang memeluknya, Sinan ingat adalah salah satu sepupu yang saat berusia tujuh belas tahun dijodohkan dengan seorang pembina pondok pesantren. Samar-samar kisah itu mengambang dalam ingatan Sinan. Bagaimana dulu sang sepupu begitu gigih menentang perjodohan dengan lelaki yang belasan tahun lebih tua dari dirinya, sampai-sampai ayah gadis itu harus menguncinya dalam kamar, kalau-kalau dia berusaha melarikan diri. Sepupu itu tampak bahagia kini. Barangkali ia sudah menerima nasibnya yang begitu rupa. Sinan hanya bisa menduga-duga. Kebanyakan hal seringkali tampak berbeda tampilan luarnya dengan apa yang sebenarnya di balik layar.