Menuju Titik Nol

Murasaki Okada
Chapter #20

I Keep my Promise to You

Indonesia, pertengahan Februari 2023

Tenda besar berdiri kokoh di halaman dengan puluhan lampu yang bergelantungan. Pencahayaannya memukau, dengan dekorasi yang begitu apik. Mengambil tema chinoiserie yang menggunakan elemen-elemen bernuansa putih-biru yang khas, mulai dari tirai satin, jalinan bunga-bunga, pita, taplak meja bahkan peralatan makan. Setengah lusin meja besar berisi berbagai macam hidangan, terhampar di empat sisi halaman rumah. Hidangan pembuka di sebelah kiri, hidangan utama di tengah, sementara di seberangnya adalah minuman menyegarkan.

           Malaya, Nuala, serta beberapa sepupu wanita dan para tante telah bersiap-siap di awal pagi untuk mempersiapkan calon mempelai wanita. Tak kurang dari selusin wanita itu mengurus segala detil keperluan Mawra. Kemarin sore rambut halus di tubuhnya dicabuti dengan ramuan air mawar, madu dan jus lemon yang dipanaskan hingga mengental menjadi pasta. Setelah itu kedua tangan Mawra diberi inai dengan pola rumit namun indah. Gaun pengantin brukat merah muda melekat sempurna di tubuhnya yang montok.

           Kamar persiapan pengantin itu penuh tawa dan percakapan bernada gembira. Sinan merasa kehadirannya tidak begitu relevan saat itu, karenanya dia menepikan diri di pojok ruangan. Sambil menata penampilannya sendiri, Sinan mengamati sang adik dalam keheningan yang menakjubkan. Mawra begitu cantik dengan riasan dan model hijab yang begitu serasi dengan wajah periangnya yang berpendar-pendar.

           Sesaat pikiran Sinan menerawang ke hal-hal absurd. Dia membayangkan dirinya sendiri dalam gaun pengantin. Sinan akan memilih gaun satin dengan kombinasi hitam dan putih. Riasan wajahnya sederhana, Korean style yang simpel, bibirnya dipoles dengan lipstik merah jambu yang lembut. Tak perlu tudung pengantin, Sinan tidak menyukai itu. Juga tidak ada buket bunga, dia hanya akan memegang kipas Chinese style.

           Lalu mempelai laki-lakinya…

           Mula-mula Sinan membayangkan Ragib Duzan dalam galabaya putih yang tampak memukau. Warna cokelat iris matanya yang berpendar-pendar. Kelembutan kulitnya yang serupa mentega. Keseluruhan sosoknya yang ideal. Lelaki itu mengulurkan tangan, meminta tangan Sinan. Ragib tersenyum.

           Mempelai laki-laki kemudian berganti menjadi Lockon Steiner yang mengenakan setelan jas putih dengan sebuah dasi kupu-kupu. Lockon tidak tersenyum sebagaimana Ragib. Ia menangis. Tangis haru, barangkali. Sebuah tangis yang kerap dilihat Sinan dalam video-video orang bule di momen pembacaan sakramen pernikahan.

           Sinan tersenyum getir. Tak yakin apakah dirinya layak bahkan hanya sekadar membayangkan momen utopis semacam itu. Meski Lockon pernah berkata bahwa ada sesuatu yang layak diperjuangkan di antara mereka, tapi Sinan tidak yakin apakah lelaki itu masih akan berpikir sama jika dia tahu kondisi mental Sinan.

           “Nan…” suara Mawra seketika menembus kesadaran Sinan.

           Sinan mengalihkan pandangan, menatap sang adik. Mawra tersenyum penuh letulusan. Ia menepuk pelan spasi kosong yang ada di sampingnya sebagai isyarat agar Sinan duduk di situ. Sinan menurut.

           Mawra lalu mengambil satu tangan Sinan dan menggenggamnya dengan lembut. Sinan balas menggenggam tangan Mawra yang berhias inai. Rasa canggung tak terelakkan. Setelah bertahun-tahun membatasi diri berinteraksi dengan individu lain, Sinan mulai kewalahan menghadapi momen-momen dramatis semacam itu.

           Satu kenangan mengapung ke permukaan manakala jemari kedua gadis itu saling mengerat. Sinan teringat betapa tangan yang berhias inai dalam genggamannya itu dulu adalah tangan mungil yang sama yang selalu membimbing dirinya saat menyeberang jalan. Sinan saat masih kanak-kanak tidak pernah berani menerobos arus lalu lintas, sedangkan Mawra selalu tahu bagaimana menemukan celah agar bisa sampai di seberang. Sinan selalu bergantung pada keberanian Mawra.

           “Nan, makasih ya udah nepatin janji kamu. Aku bahagia banget hari ini, lebih dari yang kamu tahu.” Sang mempelai wanita berusaha sekeras mungkin agar tangisnya tidak pecah. Mawra lalu menoleh pada Nuala dan memberi isyarat sebuah anggukan pelan. Nuala merespon dengan mengambil sebuah kotak perhiasan dari laci meja rias kemudian mengangsurkan benda itu pada Sinan.

           “Hadiah pelangkah dariku.” Ujar Mawra kemudian.

           “Nggak perlu, Ra. Kenapa ada pelangkah segala?” Sinan memerotes.

           “Nggak apa-apa, Nan. Aku udah niatin ini sejak awal.”

           Sinan meraih kotak itu, membukanya sedikit untuk menengok isinya. Satu set perhiasan emas. Ia mengulas segaris senyum. “Makasih, Ra.” Sinan meletekkan kotak itu di pangkuan lalu memeluk Mawra. Kali ini Mawra tak kuasa lagi menahan tangis.

Lihat selengkapnya