Kepalamu membentur dinding besi, kemudian tubuhmu terangkat, kau terdorong, rubuh, jatuh berdebum, tangan kananmu terinjak sepatu orang lain. Hidungmu patah, membentur lantai keras—lantai besi. Decitan, suara teriakan, jeritan anak kecil, suara ibu-ibu menangis.
“Tolong!”
Kau terus mendengar berbagai pekikan. Di sana dalam keadaan lemas, kau menengadah, lantas membenamkan wajah di antara dada dan lutut, memegangi kepala belakang dengan kedua tangan. Kemudian kau beringsut, darah banjir dari lubang hidungmu. Gerbong berguling, entakan keras membuat tubuhmu terlonjak ke belakang. Lagi-lagi, penumpang lain jatuh menimpa dirimu, kepala belakangmu keras membentur tepian kursi. Suasana carut-marut, jungkir balik, dadamu berdetak kuat, seperti digedor oleh dentuman suara drum di dalam sebuah konser, kau limbung, nyaris kehilangan kesadaran.
“Tolong!”
“Di sana!”
“Allah! Ya Allah! Ya Rabi!