... seiring berjalannya waktu, ingatanku akan kabur, bisa saja aku mengalami demensia, amnesia, atau apa pun itu. Kepikunan dini mungkin, tetapi dengan surat ini, aku harap kau bisa selalu mengingatku, begitu juga surat darimu, kuharap selalu menjadi pengingat bila jarak dan waktu menjadi pemisah.
A (1987)
Buru-buru Sri bangkit dari tempat duduk, ia melangkah menuju rak buku yang penuh tumpukan novel dan susunan berkas konkordansi, serta kertas-kertas dengan berbagai ukuran. Rak itu memiliki laci pada bagian paling bawah, dengan sigap ia membuka laci, mengubrak-abrik isi laci itu. Segalanya berserakan karena tangan Sri mengacak-acak dengan membabi buta. “Di mana? Aku tahu masih menyimpannya, seharusnya di sini.” Ucap Sri sambil terus fokus mencari-cari sesuatu di dalam laci tersebut.
Alhasil, setelah laci itu memuntahkan semua isinya, Sri menarik napas lega, ia berhasil menemukan sebuah kotak, kepala Sri rasanya memanas dipenuhi pikiran kalut, perasaan campur aduk, takut, sedih, penasaran, tetapi bahagia juga. Bersamaan dengan dentuman kuat di setiap degup jantungnya, tangan Sri tergerak membuka kotak itu dengan tempo pelan, penuh kehati-hatian, takut organ tubuhnya tidak kuat menerima kejutan dari isi kotak. Sri mengembuskan pelan napasnya setelah berhasil membuka kotak itu, ia menatap bundel amplop pos cukup tebal. Sri bergegas kembali ke meja kerjanya, ia bahkan tak membereskan laci yang baru saja ia ubrak-abrik.
Ah! Aku kira sudah lenyap tak ada bekas, ternyata kalian masih utuh. Sri membuka karet pengikat bundel amplop itu. Bau kertas lama membuat hidungnya sedikit gatal, ia hendak bersin, tetapi tak jadi bersin, sialan memang kalau dikerjai oleh hidung sendiri. Ia membaca setiap tanggal yang tertera di amplop usang itu dengan mata berbinar, seulas senyum terlukis di wajahnya. Ada satu amplop surat berisi beberapa kelopak bunga krisan merah dan putih yang telah kering di sudut kertas.
Apa ini maksudnya? Apakah dia merasa sedih saat mengirim surat terakhir ini? Sri membatin ribut, menyesali, mengapa baru pula memikirkannya. Ia belum ingat jelas kapan kali terakhir berbicara langsung dengan sosok pria itu. Tidak sempat berpikir lebih jauh, pandangan Sri sontak mengabur saat membaca tulisan kecil di sudut surat, yang sebelumnya tertutup kelopak bunga agak panjang. Setetes air mata jatuh sempurna membasahi kelopak bunga krisan kering tersebut, bersamaan dengan pemutaran ulang semua kenangan beberapa tahun silam di kepala Sri.
Aku harap kau sudah tahu makna bunga krisan merah sehingga aku tidak perlu menjelaskan lagi di dalam isi surat ini.
A (1987)