Menulis Ulang Ingatan

Yusuf Mahessa Dewo Pasiro
Chapter #2

Bab 1

... seiring berjalannya waktu, ingatanku akan kabur, bisa saja aku mengalami demensia, amnesia, atau apa pun itu. Kepikunan dini mungkin, tetapi dengan surat ini, aku harap kau bisa selalu mengingatku, begitu juga surat darimu, kuharap selalu menjadi pengingat bila jarak dan waktu menjadi pemisah.

A (1987)

Seperti biasa, dalam keremangan malam ia lupa bahwa waktu telah membawanya sampai pada titik ini. Sri Anggraeni masih menganggap dirinya remaja baru jatuh cinta pada pandangan pertama, usia dua puluh sembilan tahun bukanlah kategori remaja, tetapi ia masih ingat betapa menyenangkan saat-saat ia masih berusia enam belas tahun. Untuk apa memikirkan masa depan bila belum pasti, mungkin itu menjadi moto hidupnya, ia lebih memilih terjebak dengan masa lalu.

Malam makin naik, dingin menggigit kulit, tetapi Sri masih belum bisa terlelap. Dia duduk di kursi kerja, mengenakan sweter tebal tanpa kerah dilengkapi syal warna merah yang membebat lehernya. Sejurus kemudian ia melenguh sembari mengeraskan rahang. Posisi meja kerjanya sudah beberapa bulan ini tidak berubah, karena ia sudah sangat nyaman dengan posisi meja menghadap jendela. Gemeresik dedaunan diterpa angin malam seakan ingin mengajak Sri menari bersama, dengan iringan alunan kenangan di dalam kepala Sri.

Pandangannya terpaku pada jendela dengan tirai terbuka, sengaja tak ia tutup, tatapan kosong penuh pertanyaan itu menembus kaca jendela, langsung mengarah pada lampu taman di seberang jalan depan kamarnya. Taman berjarak kurang lebih seratus meter dari tempatnya tinggal itu memberikan kesan kelam, sunyi, bangku kosong taman menyala keperakan karena terpapar lampu taman. Perempuan tersebut berjalan pelan ke arah jendela kamar yang dibiarkan sedikit terbuka. Pandangannya masih lekat menatap taman. Remang-remang lampu di tiap sudut taman membuatnya teringat sebuah momen penting di masa lalu. Sembari mengeratkan pelukan pada dirinya sendiri yang sudah terbebat syal merah serta sweter tebal, jemari Sri perlahan tergerak membuka lebih lebar daun jendela, membiarkan pandangan makin leluasa menjelajahi keheningan taman, ia melihat bunga krisan diterangi cahaya lampu di taman.

“Kata ayahku, bunga krisan melambangkan kesedihan.”

Sri kembali ke meja kerja lantas melanjutkan menatap komputernya—komputer itu ia beli dua tahun silam dari hasil tabungannya selama setahun lebih.

Lihat selengkapnya