Hiruk pikuk, amat gegap gempita dibalut keserakahan dan ego setiap pekerja. Sebuah kantor dengan suasana lumayan panas. Lucunya mereka tak terganggu sama sekali, tetap fokus pada tujuan masing-masing. Sri duduk di biliknya, mengerjapkan mata sejenak, ia menarik napas panjang lantas menatap gelas berisi teh manis yang belum habis. Mejanya cukup berantakan karena beberapa kertas belum ia tata.
“Kau lupa lagi?” ujar seorang wanita berkacamata, berambut ikal, ia bercekak pinggang di samping meja Sri.
Sri menoleh sekilas. “Oh! Maaf, Ratna. Aku baru mau menyerahkannya padamu.”
“Baiklah. Satu naskah lagi, ya. Tadi kurator bilang itu layak terbit, kau bisa menangani?”
“Bisa. Aku selesaikan malam ini.”
“Terima kasih, ya!” gadis bernama Ratna itu lantas kembali ke meja kerjanya.
Kantor surat kabar di pinggiran Kota Surabaya itu lumayan menjorok dari jalanan utama. Sri sudah cukup nyaman menjalani hari-hari sebagai wanita karier, ia belum memutuskan untuk keluar dari pekerjaan yang telah memberinya penghidupan. Meski tak bergaji besar, tetapi ia masih bisa membuka usaha sampingan dengan membuka usaha toko mainan anak-anak. Modal itu memang tak sedikit, sebab di saat itu era kemajuan terus memelesat, harga-harga barang terus melambung tinggi semenjak krisis moneter. Ia teringat dengan anak tetangganya, saat itu si anak lahir tepat saat krisis bergejolak, hingga akhirnya si anak diberi nama Krismonika Lusiana Dewi, yang mana Krismon merujuk pada kepanjangan Krisis Moneter.
Surat kabar telah memuat beberapa iklan open house dari beberapa orang keturunan Tionghoa, mereka hendak menjual rumah. Kolom iklan perumahan sudah penuh, Sri harus segera menyelesaikan pada bagian hiburan berupa cerpen. Ada kiriman cerpen dari penulis muda baru naik daun, padahal anak itu baru kelas satu SMK. Sri cukup kagum saat membaca dan menyunting cerpen kiriman bocah itu.
“Tragedi, sungguh menyentuh hati. Kurasa cerita budaya begini dibalut dengan tragedi roman sungguh epik. Aku tak menyangka ada anak menulis cerita sebagus ini—jenius. Aku tak bosan membacanya dari awal paragraf hingga akhir.”
“Kan? Aku tak salah memberikan naskah ini padamu. Kurator cukup tertarik dengan judulnya, tetapi lebih menakjubkan lagi, kurator langsung jatuh hati saat memasuki kalimat pertamanya, ‘Aku bisa hidup, tetapi aku sudah mati. Terjerat nafsu malam, tubuhku tercerai-berai.’ Bayangkan apa maksudnya? Mengakhiri hidup? Mayat hidup? Penulis ini cukup unik.” Ucap Ratna.