Sahut-sahutan pedagang kaki lima di pinggir jalan riuh meneriakkan dagangannya, seolah berusaha menarik fokus orang-orang yang masih bergelut dengan sisa kacau pikiran semalam. Klakson angkutan umum, teriakan kernet pun tak mau kalah saing. Tapi pada akhirnya tetap saja, isi pikiran Sri masih jadi juaranya. Ah, ingatan itu lagi, pikirnya. Bukan tidak mau, hanya saja dia tidak bisa benar-benar mengontrol emosinya kalau ingatan itu sudah mengambil alih. Terlalu banyak penyesalan di sana.
Sri menginjak pedal rem pelan, menghentikan putaran roda belakang sedan yang ia kendarai sekarang. Starlet bekas keluaran 1993 pemberian orang tuanya sebagai hadiah kelulusan. Tidak terlalu bagus, tetapi cukup sebagai pengganti agar dirinya tidak perlu lagi repot-repot berdesakan dengan orang-orang di angkutan umum saat pagi hari.
Lampu lalu lintas di depannya berubah merah sedetik kemudian. Ucapan Ratna tentang kiamat semalam berhasil membuat Sri termenung cukup lama, bahkan sampai sekarang, membuatnya memilih menjatuhkan pandangan pada dua remaja berseragam putih abu, mereka terlihat menyeberang di depan mobilnya. Remaja perempuan tersenyum berkali-kali bahkan nyaris tertawa sambil menatap ke arah remaja lelaki. Remaja lelaki itu sangat antusias menceritakan sesuatu, entah apa. Gestur tangannya bergerak cepat seolah mendukung setiap kata dari mulutnya.
“Kuharap masa itu bisa berlangsung lebih lama lagi,” gumam Sri setelahnya.
Sri kini paham kiamat yang seharusnya dibahas Ratna adalah kiamat digital, melalui berita di televisi semalam. Tentang komputer yang akan mengalami bug pada penanggalan dua digit tahunnya. Di mana tahun 1999 akan tertulis sebagai 99 saja. Tapi masalah akan muncul ketika tahun berubah menjadi 2000, para komputer itu akan salah paham mengartikan 00 menjadi 1900, bukannya 2000. Dan kabarnya, ketika itu terjadi, bisa memberi kerugian total sampai ratusan miliar dolar dari seluruh dunia. Tapi sialnya, Ratna membawa topik kiamat itu ke arah lain, jauh di dalam dirinya, Sri masih mencoba mencari jawabannya. Hingga sebuah pernyataan serius melintas nakal di pikirannya. Sebelum kiamat terjadi, aku ingin bertemu dengannya sekali lagi. Hanya itu.
Dering ponsel memutus lamunannya sejenak. Nokia 8110 dengan berat 152 gram, bisa ia gunakan untuk menelepon, cukup berguna di era ini. Ia jadi lebih bisa bertukar informasi dengan siapa pun secara langsung, tanpa harus menulis atau pun mengetik terlebih dahulu. Meski masih teringat bagaimana antusiasnya dia saat menulis surat, menunggu balasannya, seperti di masa itu.
“Banyak yang tidak selamat,” suara bariton dari pria di seberang sana terdengar tepat setelah Sri menerima teleponnya.
Itu Damar. Teman dekat Sri semasa kuliah, entah kenapa ia memilih untuk ikut melamar pekerjaan di tempat Sri. Padahal Sri tahu betul, lelaki ini tidak terlalu minat dengan hal-hal berbau kepenulisan. Namun, Damar bahkan selalu berusaha mencari informasi, hal itu membuat Sri tak enak hati. Seperti sekarang.
“Aku meminta orang-orang mengumpulkan sisa koran dengan tahun, bulan, dan tanggal setelah tragedi itu. Namun, semua sumber mengatakan hal sama. Banyak yang tidak selamat,” tegasnya lagi.
“Tunggu, mungkin koran-koran itu hanya terbit di satu daerah saja. Dan bisa saja informasi masuk ke daerah tersebut masih terbatas. Mengingat, itu lebih sepuluh tahun lalu, sebelum sekarang. Mungkin saja, kan?” Sri diam sebentar. Kepalanya seolah berpikir keras untuk menemukan pembelaan lain. “Bagaimana kalau … Pelita? Tempo? Bernas?”