“Aku tak tahu bagaimana kabarnya. Dia dahulu memang berkirim surat denganku. Bukankah masa itu adalah masa keemasan, begitu menyenangkan, bukan?” Sri menarik napas. Meski hidung serta daun telinganya jadi panas kemerahan gara-gara Intan membahas surat.
Aku menguping di dekat rak panjang sebelah kiri Sri. Ia duduk dengan seorang wanita penjaga perpustakan ini. Tampaknya percakapan di antara mereka cukup menarik. Dari gerak-gerik, mimik wajah Sri, serta lawan bicaranya, seakan menggambarkan itu adalah sebuah pembahasan tentang hal berharga, bahkan aku sendiri tak bisa menebaknya.
“Sri, aku tahu, aku tahu. Masa-masa itu amat indah, ya! Sungguh, aku juga banyak melalui hal menyenangkan di masa remaja itu.”
“Intan, apa kau ingin membahasnya di sini? Lebih baik kau melanjutkan kegiatanmu.” Sri mencoba mengelak.
Wanita dengan panggilan Intan itu tampak berpikir sejenak. Aku mengurungkan niat untuk keluar menjumpai Sri sekarang, kurasa mereka masih asyik mengobrol. Dari penilaianku—mereka teman masa sekolah, sudah lama tak saling jumpa.
“Memangnya apa lagi? Mau membahas sinetron Panji Manusia Milenium? Kiamat komputer? Atau tahun baru kelabu tanpa kekasih? Eh, maaf kau ... belum?”
“Ya. Aku masih sendiri.” Sri paham arah pembicaraan Intan, ia langsung menyahut tanpa tedeng aling-aling. “Aku ke sini untuk memastikan sesuatu. Aku mau menemui seseorang.” Sahut Sri.
“Dan aku sudah di sini.” Ujarku secara tiba-tiba, aku melangkah mendekat lantas berdiri di dekat mereka berdua.
Sri dan Intan menoleh berbarengan. Agaknya aku tak salah, ini memang waktu tepat untuk memperlihatkan diri. Daripada membuang waktu sehingga tak jadi berbincang dengan Sri.
“Damar?” celetuk Sri agak terkejut.
“Boleh?” aku menunjuk kursi di dekat mereka.
“Kemarilah.” Sahut Sri. “Intan, ini Damar. Rekanku saat kuliah, hanya berbeda jurusan.”