Dua hari berlalu sejak Damar menyampaikan informasi perihal Bintaro. Selama itu juga, seluruh jiwa ragaku seperti bekerja keras mencari penolakan. Namun sampai sekarang tidak ada bantahan masuk akal. Mungkin itu penyebab sampai sekarang kepala terasa sangat pusing. Seperti ada beban berat, terus bertambah menimpa kepalaku sejak beberapa hari lalu. Berat sekali rasanya.
Entah berapa lama lagi mataku bisa berpura-pura fokus di depan layar komputer. Jujur ini teramat melelahkan. Memori bersama Adam seperti mengambil alih sembilan puluh persen isi pikiranku. Sementara sisanya memikirkan di mana dia sekarang.
“Ke mana, sih, Adam?” Tanganku kembali gelisah mengobrak-abrik tumpukan surat di meja kerja. “Dia mustahil pergi secepat itu, kan?”
Aku diam lagi, tertampar dengan pertanyaan kedua. Namun itu benar, kan? Mustahil Adam pergi secepat itu. Adam bukan orang lemah dengan kehidupan. Dia punya banyak rencana, memiliki ambisi kuat. Dia selalu ingin melakukan bebagai hal! Terasa amat memilukan bila Tuhan mengambil manusia seperti Adam secepat itu. Meski sudah lewat bertahun-tahun, aku masih sering berpikir tentang dirinya, mungkin saja ia sedang bersembunyi, menyiapkan semua ini untuk pesta besar, kemudian mengagetkanku di puncak acaranya.
“Namun kapan?” Napasku tercekat. Air mata yang sudah sangat lama tertahan akhirnya jatuh deras lagi. “Sudah dua belas tahun berlalu, Adam. Bukankah itu sudah terlalu lama?”
Dengan brutal aku meremas secarik kertas di atas meja kerja, sembari berusaha keras menahan suara sesenggukan. Kepala makin pening. Sakit sekali. Ini teramat membingungkan. Semua informasi berputar-putar saja, seolah tidak punya jawaban pasti. “Kalau memang Adam sudah tidak ada, kenapa suratnya bisa sampai sangat terlambat setelah tragedi nahas tersebut? Mungkinkah itu berarti dia selamat?”
Aku menggeleng lagi. “Namun, Damar dengan jelas mengatakan nama Adam tidak ada di daftar penumpang selamat.”
Selalu ada bayangan semisal Adam sedang diam-diam mentertawaiku di seberang sana. Melihatku kelimpungan mencarinya tetapi tidak ketemu juga. Mungkin saja dia malu karena wajahnya tidak setampan dahulu? Atau otaknya tidak sejenius dahulu? Atau mungkin, taman tempatnya mencuri bunga sudah layu semua? Ya, dia memang bilang semua bunga di surat ini adalah hasil curian. Berandalan sekali tingkahnya itu, kan? Namun aku menyukainya.
“Kau tahu, Sri? Kau seperti bunga krisan liar di taman belakang sekolahmu.”
Ingatan itu tiba-tiba berkeliaran di kepalaku. Menyebalkan sekali. Aku seperti bisa mendengar suara Adam dengan sangat jelas. Kemudian, suaraku, eh, tidak. Aku bahkan bisa melihat diriku di sana. Duduk berdua dengan Adam. Di sebuah kursi panjang berwarna cokelat, di samping pohon besar, rindang, teduh, di belakang sekolah.
“Maksudmu? Aku tidak terawat, bisa dipetik sembarangan, begitu?”
“Cantik. Namun tidak ada yang punya.” Adam diam sebentar kemudian menatapku yang sudah cemberut di sampingnya. “Ah!” Dia tiba-tiba menjentikkan jari. “Kenapa kau tidak jadi punyaku saja, Sri?”
“Tu-tunggu … apa maksudmu?”