“Aku tak apa, ini hanya kelelahan. Kau tak perlu khawatir.” Sri mendesah, meski wajahnya begitu pucat.
Sri mengalami pusing berat, jantung berdebar hebat, sudah beberapa hari, tetapi baru hari ini ia memutuskan untuk melakukan pemeriksaan di sebuah rumah sakit. Semua tak akan Sri lakukan jika ia tak mendadak mimisan, sungguh itu pendarahan hebat.
“Kau membuatku panik!” Damar tampak menarik napas dalam-dalam. “Maaf aku tak membawa sapu tangan saat itu.”
“Terima kasih. Maaf malah merepotkan dirimu.” Sri tampak menjawab agak lirih.
“Hasil pemeriksaan bagaimana?”
“Masih harus menunggu hasil uji laboratorium. Pemeriksaan darah. Saat ini sudah tak apa, aku cuma sedikit lelah saja. Rekam medis sudah ada, nanti saat kontrol kesehatan berikutnya akan kuambil hasil pemeriksaan darah itu.”
Damar masih mendesah beberapa kali. “Kau terlalu banyak pikiran. Asal kau tahu, Sri! Kalau penyakit itu bisa datang dari pikiran. Kau jangan banyak berpikir berat, jika tingkat stres tinggi akan berdampak pada kesehatan tubuhmu.”
“Terima kasih. Ya, sepertinya aku harus lebih tenang, menjaga pola hidup agar sehat lagi.”
“Jangan menekuk wajah begitu, seperti ayam belum dikasih makan saja,” Damar tergelak mencoba menghilangkan raut wajah panik.
“Kau ini.” Sri menanggapi singkat lantas memalingkan wajah memandangi tepi jalanan, ia duduk di samping Damar yang sedang menyetir mobil.
“Mobilmu terawat, masih sangat galak.” Ucap Damar mencari pembahasan lain.
“Benarkah? Aku tak begitu memperhatikan mobil ini semenjak sibuk di kantor.”
“Kau jelas terlalu kelelahan. Andai saja ada jeda, dari semua hal di dunia ini. Tentu saja, aku juga ingin jeda dalam segala aktivitas. Bekerja, bekerja, dan bekerja. Rasanya kita seperti mesin, sudah didikte untuk selalu begitu. Kelas pekerja seperti kita memang tak pantas rasanya kalau mengeluh.”
Sri terpaksa mendengarkan semua ocehan Damar. Pria itu tampak lebih cerewet, seperti burung di pagi hari—terus merepet. Sri beberapa kali cuma menarik napas lantas mendesah pelan. Ia mencoba menenangkan pikiran, karena sedari tadi seperti lautan mengamuk—badai.