“Iya, Bu! Maafkan Sri. Mungkin minggu depan baru bisa ke Solo. Maaf, ya. Sri akan ke sana setelah urusan di sini sedikit longgar. Cuti akhir tahun ini terasa cepat.”
“Iya. Ibu tunggu. Jangan telat makan, ya.” Suara Bu Sundari di seberang bergetar. Wanita itu tak pernah menanyakan perihal kapan Sri akan menikah. Dia memahami anaknya, dia tak mau membebankan hal begitu berat seperti pertanyaan pernikahan.
“Tenang saja, Bu. Sri makan teratur, kok. Sri baik-baik saja di sini.” Sri tak memberitahu keadaan dirinya yang sebenarnya pada sang ibu. Ia melangkah dari parkiran, kali ini hanya mengambil hasil uji darah dan menebus obat.
Rumah sakit telah ramai seperti biasa. Lima hari setelah tahun baru. Sri kembai lagi ke Rumah Sakit Tambakrejo. Ia ingat, kurang lebih sebulan lalu tepat 13 Desember 1999, rumah sakit itu ditetapkan menjadi Rumah Sakit Tipe C, mengacu pada Surat Menteri Dalam Negeri. Kini sudah 5 Januari 2000, awal tahun cukup kelabu bagi Sri. Ia mengambil hasil uji laboratorium terkait darahnya.
“....Anda kelelahan, terkena infeksi, Anda sempat mimisan di hidung, maka saya akan menyarankan untuk menebus obat tersebut, beserta vitamin.”
“Baik, Dok! Terima kasih atas bantuannya. Saya pamit dahulu.”
“Silakan. Semoga lekas membaik, perbanyak istirahat.”
“Baik. Selamat siang. Saya permisi.” Sri pamit meninggalkan ruangan tersebut, membawa berkas, kartu berobat, serta resep obat, ia menuju apotek rumah sakit.
Beberapa suster sibuk berlalu lalang saat Sri mengantre obat. Saat itu Sri dibuat membeliak, matanya melotot lebar. Sri sungguh dibekap keterkejutan tiada tara. Ia ingat, pria bermata cokelat, berhidung mancung, telinga caplang, kulit putih kemerahan, rambut bergelombang, dipangkas rapi, tulang rahang nan kokoh. Ya! Adam. Ia melihat Adam duduk di kursi roda, pria itu melintas di lorong rumah sakit bersama bibinya.
Sri langsung beranjak dari kursi tunggu, ia berlari dari depan apotek rumah sakit, melintasi lobi sisi selatan. Sri mengejar Adam di kursi roda yang didorong sang bibi. Tidak salah lagi, jantung Sri berdentam-dentam, ia berdebar tidak karuan. Dengan tekad kuat, untuk memastikan apa yang ada di depannya, ia menyalip, menghentikan dua orang itu. Bi Ngatiyem tampak kaget karena kemunculan Sri secara mendadak.
Sri yakin, itu benar adalah Adam Sasongko. Namun, Sri bingung.
“Bi! Bibi Ngatiyem! Ini saya! Sri! Saya Sri Anggraeni.” Sri memandangi wanita gempal, berambut hitam legam dan bergelombang, dia adalah bibinya Adam. Wanita penyayang, penyabar, tidak pernah menghakimi orang lain. Bi Ngatiyem merupakan adik dari ayahnya Adam, wanita itu hidup sendiri, tidak punya suami.
“Nduk! Duh Gusti! Kita bertemu di sini. Kebetulan sekali.” Bi Ngatiyem tampak semringah, ia mendekat, memeluk Sri.
“Iya, Bi!” Sri memeluk Bi Ngatiyem dengan ketulusan. Ia lantas menatap Adam. “Hai! Adam kau ingat aku? Adam! Ini aku, temanmu saat remaja.” Sri menanti jawaban dari Adam, tetapi pria itu hanya melirik sekilas dengan raut wajah nelangsa.