“Banyak peristiwa terjadi, seperti hal yang ditakutkan banyak orang, yaitu Millenium Bug.”
“Ah, benar! Ramalan kiamat, karena salah penanggalan di komputer.” Intan menyahut dengan antusias.
“Karena ditakuti bisa membuat kehancuran komputer di semua dunia, tetapi nyatanya tidak terwujud saat 1 Januari 2000. Buktinya sekarang sudah Jumat, 7 Januari 2000.” Sri membolak-balik buku tentang Alzheimer yang ia temukan di perpustakaan. Cetakan lama, tetapi bisa memberi dia wawasan. Sri membatin, ternyata memang benar, penyakit itu merusak otak, menghapus memori.
“Dan tahun baru telah tiba. Berita di televisi banyak membahas perihal kecanggihan-kecanggihan, berbagai barang elektronik baru akan memasuki era milenium, telepon genggam baru, robot, dan sebagainya. Ketakutan perihal musnahnya komputer, serta berbagai perayaan dilakukan banyak orang untuk menyambut era milenium atau perayaan seribu tahun. Bahkan aku ingat, di Indonesia diawali dengan sinetron Panji Manusia Milenium di tahun 1999 lalu. Oh! Dan saat tahun baru kemarin, ribuan orang menghadiri Parade Hari Milenium di London. Kau melihat beritanya tidak? Sri! Kau sedang apa, sih? Sibuk sekali.”
“Ah. Maaf ada hal yang mau kucari di buku. Aku tahu, tentu saja, parade itu, lonceng dibunyikan secara bersamaan di gereja serta katedral di seluruh Inggris pada siang hari di Tahun Baru, kan?”
“Ya. Memangnya kau mencari apa?” Intan mengernyitkan dahi.
“Hanya penasaran tentang penyakit memori otak, kehilangan memori. Semacam kepikunan dini, demensia. Hanya penasaran. Sudah ketemu, kok. Kau tidak kembali ke meja jagamu? Barangkali ada pengunjung mau pinjam buku.” Sri mengembalikan buku bacaannya ke rak buku di deretan Sains.
“Tidak, sih. Ini masih sepi, mumpung kau di sini. Lagi pula nanti setelah anak-anak pulang sekolah, barulah perpustakaan ini akan ramai. Kau tidak mau meminjam buku?”
“Tidak. Sudah dapat informasi yang kuperlukan.” Sri tersenyum.
“Kau baik-baik saja, Sri? Wajahmu sedikit pucat.” Intan masih menautkan dahi, ia menatap lembut ke arah Sri.
“Aku baik-baik saja.”
“Baiklah. Seperti saranmu, kau nikmati dahulu waktumu, aku akan ke meja tunggu. Selamat membaca buku lainnya.” Intan melangkah menuju meja kerjanya.
Suasana perpustakaan masih lengang, belum banyak pengunjung. Hanya Sri serta dua orang di sebelah selatan, dekat rak berwarna biru. Mereka dua pemuda, sedang membaca buku novel. Sri melangkah ke rak lain, mencari-cari buku tentang saraf, tetapi ia beralih pada rak biologi. Sekitar satu jam ia berada di perpustakaan.
Setelah dari perpustakaan, dia bertemu Bi Ngatiyem, ia menyetir sekitar lima puluh menit, sampailah di alamat yang diberikan saat di rumah sakit. Rumah itu sederhana, ternyata Adam selama ini ada di sini. Sri tak menyangka, kenapa dekat tetapi terasa jauh. Terkadang restu alam serta keinginan hati susah ditebak, memang aneh. Dia melamun, belum ingin turun dari mobil. Kita merasa dekat, tetapi terpisah jarak teramat jauh, kadang juga begitu dekat sampai-sampai tak terlihat. Memang benar peribahasa, semut di seberang lautan memang lebih bisa tampak, daripada gajah di depan mata. Sri mendesah, saat ia hendak keluar dari mobil, dering gawai membuyarkan lamunannya.