Sudah nyaris dua tahun semenjak kejadian Trisakti, huru-hara di negeri ini banyak bermunculan, sampai kapan pun akan terus ada, semua itu dikesampingkan oleh Sri. Ia tak begitu peduli berita tentang dunia morat-marit, bumi gonjang-ganjing. Apa lagi perihal ramalan, karena tahun 1999-2000 diramalkan akan kiamat tetapi tidak terbukti, sekarang sudah Januari tahun 2000.
Pertama, tentang Y2K atau Year 2 Kilo, merupakan berita kiamat komputer, banyak orang di dunia takut akan kiamat itu, ada prediksi jika kiamat tersebut akan berlangsung malam hari saat pergantian tahun 1999 menuju 2000. Milenium bug tidak terbukti karena kesalahan penanggalan semata pada komputer. Sri tak peduli, ia hanya ingin tahu mengapa Adam bisa menjadi begitu. Sri ingat, ada berita kiamat lagi, seorang pastor menyatakan kiamat akan terjadi pada Jumat, 31 Desember 1999 hingga hari Sabtu, 1 Januari 2000. Namun, sama saja, itu hanya hal gila, atau mungkin dia orang sinting yang hendak mengorbankan jemaahnya sendiri.
Berita kiamat, ketakutan manusia akan hari akhir, mungkin akan terus bermunculan, di tahun-tahun berikutnya, entah kapan, tetapi Sri sekarang hanya perlu menenangkan diri. Sri masih duduk tenang tatkala Adam muncul dengan kursi rodanya, Bi Ngatiyem mendorong perlahan, lantas berhenti di dekat vas bunga besar di sudut ruangan. Bibi duduk di dekat Sri.
“Beginilah Adam sekarang. Bibi tak tahu harus bagaimana, daya ingatnya makin menurun.
“Saya kenal Adam, saat remaja dia pria berperangai hangat dengan pandangan tajam tetapi bisa berubah menenangkan, sedap dipandang, punya prinsip, keteguhan hati, ia tak suka diganggu perihal privasi, mengedepankan keluarga, sangat mencintai mendiang ayah dan ibunya.”
“Benar, Nduk! Dia lahir dari pasangan sederhana, memiliki sebidang ladang serta sawah yang digarap sang ayah. Adam adalah anak tunggal, orang tuanya sudah meninggal saat Adam berusia sepuluh tahun karena mereka kecelakaan mobil, masuk jurang. Adam kecil begitu pendiam, tak banyak tingkah. Namun, saya tak tahu kalau dia punya penyakit begini, mungkin karena trauma, atau lain hal yang tidak saya ketahui. Kekayaan dari pamannya menyokong Adam dan saya, meski mobil yang ditumpangi kedua orang tua Adam juga pemberian dari mendiang sang paman semasa hidupnya. Dia hidup dalam dunia penuh duka, tragedi, seakan tidak memiliki cahaya di masa depan—Adam nelangsa.”
Sri menyimak baik-baik ucapan Bi Ngatiyem, dia tidak memotong. Barangkali bibi juga lelah hati, ingin berbagi cerita, mencurahkan beberapa hal pada Sri. Bi Ngatiyem beberapa kali menarik napas panjang, mencoba memanjangkan usus.
“Adam mengalami kejadian buruk, kecelakaan kereta di masa silam. Ia menyaksikan bagaimana maut mendekat, mungkin jiwanya terguncang. Namun, dia beruntung bisa selamat. Begini kilas balik kondisi awal mula Adam mengalami Alzheimer, dia tiba-tiba linglung, cemas, tak bisa melakukan banyak hal karena penurunan daya ingat. Makin lama bertambah parah, akhirnya lebih banyak diam, tak mengingat kejadian-kejadian lampau, maupun percakapan jangka pendek. Semua bermula sebab kecelakaan kereta Bintaro yang ia alami. Saat Adam kecil, kedua orang tuanya meninggal, kemudian Adam mengalami kejadian tragis di kereta, mungkin hal itu membuat dia terguncang, atau memang ada faktor lain.” Bi Ngatiyem berhenti, ia menangis, memandang ke arah Adam.
“Bi. Kuatkan hati Anda. Saya ikut sedih, prihatin dengan kondisi dia. Selama ini saya mencari keberadaan Adam. Karena kami cukup dekat di masa silam. Kami kerap berkirim surat. Ya, surat-surat dari Adam masih lengkap, tersimpan rapi di kediaman saya.”
Bi Ngatiyem tetap menangis tersedan-sedan, tak bisa menjawab. Hal itu membuat Sri ikut melemah, matanya merah, berair.
“Sa ... saya. Saya bisa membantu sedikit, meski entah berhasil atau tidak. Bolehkah saya tahu jadwal dia kontrol? Saya akan mengajak Adam ke taman, membacakan surat lampau yang pernah ia tulis masa dahulu. Atau saya akan di sini, membacakan semua tulisannya. Saya ... maaf, saya bukan bermaksud lancang, tetapi saya punya keyakinan, berharap bila saya membacakan surat dari masa silam bisa membangkitkan kenangannya. Entah itu bekerja atau tidak, atau justru tak ada efek sama sekali. Namun, bolehkah...”
“Boleh! Silakan, Nduk! Bantu Adam, bantu biar dia sehat kembali, bisa berbicara, melakukan hal normal. Tolong bantu dia.” Bibi menangis makin keras, Sri pun langsung ikut menangis, tangisan itu merebak. Ada rasa kesal, sedih, marah, menggumpal di dada Sri.
Sesampai di rumah, seperti biasa, ia mencuci muka, kaki, tangan, lantas langsung masuk ke ruang kerjanya. Penjaga toko mainan miliknya menelepon, mengatakan kalau ada razia dari polisi, mereka mencari anak-anak perempuan yang membolos sekolah, perempuan itu membeli boneka-boneka, tetapi beberapa kabur, dua wanita digiring petugas untuk diberi bimbingan karena membolos dan justru bersembunyi di toko mainan milik Sri.
Sri mengatakan tidak masalah. Semua pasti aman terkendali, serahkan saja pada pihak berwajib. Toko kita tidak dirugikan, setidaknya itu yang ia sampaikan pada penjaga toko mainan miliknya. Sri mendesah, belum mengecek laporan pengeluaran serta pemasukan dari toko mainan tersebut. Meski tidak untung banyak, tetapi dia harus tetap memerhatikan gaji penjaga toko.