Malam hari saat ia hendak tidur, pikirannya masih ribut. Dia terus hidup di dalam kenangan masa silam. Tak mau memikirkan Adam terus-menerus, dia mencoba mengalihkan pikiran, berharap bisa segera terlelap, tetapi efek obat kali ini tidak begitu kuat seperti sebelumnya, dia tetap terjaga. Dia mengingat-ingat hal remeh lain, bukan menghitung domba—Sri teringat perdebatannya dengan Ratna pada suatu waktu di kantor. Mereka membicarakan harga pangan. Sri mencoba membandingkan harga-harga makanan pokok zaman dahulu. Atau harga daging dan telur.
“Aku masih ingat, ketika ikut belanja ke pasar bersama ibu, saat harga-harga pangan masih berharga murah hingga digempur oleh inflasi, tentu harga makanan zaman dahulu berbeda dengan era sekarang, sudah masuk milenium baru—tahun 2000.” Ujar Sri.
“Benar. Sekarang berbeda dengan zaman dahulu. Apa-apa serba mahal.” Sahut Ratna.
“Dahulu, tahun 1987, harga daging ayam satu kilogram masih 2.140 rupiah, telur ayam Rp. 1.379/kg. Banyak harga terjangkau di zaman tersebut. Bahkan aku betul-betul masih ingat, tahun 1983 inflansi memang cukup tinggi, mencapai 11,50%/tahun. Mungkin tahun 1983 memang sedang banyak huru-hara juga, jadi inflansi naik. Ada kenangan tentang Gerhana Matahari pada 11 Juni 1983. Aku melihat pantulan cahaya matahari melalui air di dalam baskom. Kakekku marah kalau aku menatap langsung ke arah matahari, katanya nanti bisa buta. Banyak juga orang tua yang menggunakan disket untuk menyaksikan gerhana itu. Pada kejadian gerhana matahari, stasiun TV saat itu—TVRI, menyiarkan tentang gerhana matahari heboh tersebut.”