Dia tidak mengenal Adam baru sehari atau satu minggu. Namun dia tidak yakin akan pemikirannya sendiri selama ini, bahwa Adam sudah tewas. Hal tersebutlah yang memberi kekuatan pada dirinya, betapa pun menyangkal sekeras hati, sekuat-kuatnya, fakta dan takdir tak akan berubah. Adam masih hidup, seperti keyakinan selama ini di dalam dada Sri. Pengharapan, doa-doa melangit, setiap hari ia ucapkan. Sri telah kembali bertemu pujaan hatinya. Namun, kini ia tersayat-sayat, perasaannya bersedih saat mengetahui kondisi Adam.
Penampilan Sri biasa saja, tetapi memiliki daya pikat, magis, aura kelembutan seperti yang dirasakan Adam dahulu. Meski ia merasa biasa-biasa saja. Dia bukan wanita peramal, ia tak mampu meramalkan cuaca atau apa pun. Sri hanya perempuan biasa, ingin menemukan kebahagiaan.
Aku akan menikah dengan pria kaya, ataupun tampan, tidak akan mengubah fakta bahwa aku masih mencintai Adam. Sri membatin kuat, dia begitu membulatkan tekad, perasaannya pada Adam seakan sudah terpatri begitu erat. Sri sempat menerima perlakuan buruk, tidak mendapat sambutan hangat oleh keluarga lelaki yang hendak melamar dirinya dahulu. Sri pernah diajak menikah pada usia yang teramat muda, masih dua puluh tahun. Namun begitu, Sri dengan terpaksa menolak lamaran pria tersebut. Tentu saja, rasa malu diterima oleh keluarga lelaki itu.
Kejadian pahit tersebut masih terekam jelas di memori. Gadis itu masih kukuh, mempertahankan perasaan pada cinta pertamanya. Melaju cepat seperti menaiki kereta cepat hingga menembus masa sekarang. Lelaki yang ia tolak dahulu, kini sudah menjadi prajurit, ditempatkan di Kalimantan. Terakhir Sri mendengar desas-desus, bahwa pria yang dahulu melamarnya sudah memiliki tiga anak. Jalan takdirnya barangkali memang begitu, ia membelokkan segalanya, tak terbayang bila dahulu ia menikahi pria tersebut.
Sri masih ingat betapa keluarganya menjunjung tinggi adab, kesopanan, keluarga di Solo dan Sulawesi, tentu dengan latar belakang berbeda. Bisa bersatu menjadi Ayah dan Ibunya, hingga lahirlah Sri. Pernikahan adalah sesuatu momentum sakral, penuh kesucian. Tak mungkin akan lahir Sri, bila kedua keluarga berbeda adat itu tak bisa menyatu. Perbedaan memang akan selalu ada, tetapi itu yang membuat cinta terasa indah, saling melengkapi. Namun, dia tak bisa memendam perasaan cintanya pada Adam—sedangkan bila Sri menikah dengan pria lain, itu penipuan, suatu kebohongan terburuk, Sri menabur duri dalam kehidupan rumah tangga bila ia saat itu menikah. Memang cinta bisa tumbuh dari mana saja, tidak kenal, lalu suka, atau apa saja. Namun ... tetap saja. Sri mencari alasan terus.
Damar kini hadir, sosok pria yang dikirim seperti menggantikan pria yang dahulu hendak melamar Sri, seakan Damar adalah pelipur lara, membantu Sri dengan sebegitunya, mencari-cari informasi tentang keadaan Adam. Meski waktu sudah berlalu bertahun-tahun. Ini artinya Damar juga menaruh rasa pada Sri. Namun, tetap saja. Sri tidak peka, ia tetap menginginkan Adam.
“Kenapa kau tiba-tiba ke sini?” Sri menautkan alis. Ia skeptis karena Damar mendadak datang tanpa mengabari. Sudah kali kedua, pertama tatkala ia datang kemudian Sri mimisan.
“Aku sahabatmu, kan? Sahabat tidak perlu menghubungi dahulu kalau ingin bertemu, kan?”