Sri sudah mengumpulkan kekuatan untuk membantu Adam dalam menjalani hari-harinya, Sri mengesampingkan banyak hal, ia membawa semua surat-surat yang dahulu pernah mereka tulis. Hal itu dilakukan Sri dengan harapan bisa membantu Adam mengingat tentang masa silam itu.
“Bagaimana kalau dua kali seminggu, Bi? Saya akan selalu ke sini, setiap sore, atau pagi hari, setelah subuh, sebelum bersiap kerja. Saya akan menemani Adam.”
“Bila itu tidak merepotkanmu, Nduk. Saya merasa terbantu. Maaf, ya. Kau jadi harus melakukan ini.”
“Tidak. Saya merasa senang. Justru ini sebuah cara, supaya dia bisa pulih. Saya menaruh harapan besar, akan ada keajaiban suatu hari nanti. Di taman. Ya. Di taman kota, tidak jauh dari sini. Hanya lima menit, dan sekitar dua puluh menit dari rumah saya. Setelah itu, kalau pagi, saya bisa langsung ke kantor bila sudah mengantar Adam pulang. Kemudian, kalau sore, saya akan mampir ke sini, dan pulang sampai rumah setengah enam tidak masalah. Saya siap membantu.” Sri tampak berapi-api. Penuh semangat menggelora.
Di sebuah taman kota. Sri mengajak Adam untuk duduk di kursi taman, mengajak pria itu bercerita. Di sana, surat-surat itu sudah ia keluarkan dari amplop, ditumpuk jadi satu. Sri di rumah sudah mengurutkan mulai dari surat pertama, tanggal paling muda, awal-awal surat itu sampai pada Sri.