Rabu, 16 Juli 1986
Dasar pria usil!
Apa kau menganggap aku ini penyihir? Perempuan mistik, mampu memikatmu? Jangan coba-coba menganggu aku lagi.
Sri Anggraeni
Sri tertawa, ia ingat surat balasan yang ia tujukan untuk Adam berisi kalimat ancaman, penuh kemarahan. Namun, dalam hatinya, dia berbunga-bunga. Mungkin inikah masa remaja, pikirnya. Dia tak menyangka ada pria mengirimkan surat untuk dirinya. Seperti kisah-kisah romantis di film atau buku novel saja. dia ingat novel Romeo and Juliet yang ia baca di perpustakaan sekolah. Atau kisah Pride and Prejudice, entahlah. Kisah romantis itu seakan sedang menyambangi Sri. Awalnya wanita itu malu-malu, ingin mendapat surat lagi, tetapi merasa jijik dan sebal juga. Dia tak tahu hendak mengungkapkan bagaimana.
Dia mengenakan sepatu, sudah rapi, seragam bersih, dia menguncir rambutnya yang panjang sebahu. Kini gadis itu berjalan menuju sekolah. Dan tentu saja, jalanan depan SMK tempat Adam sekolah akan menjadi rute yang harus Sri lalui. Masih pukul 06.30. Keadaan pagi amat damai, banyak pedagang sayur melintas, tukang sol sepatu, pria dengan caping memanggul dua tempayan yang dikaitkan bambu—ia berjualan air kelapa muda. Ada juga ibu-ibu menggendong dagangan berupa jamu, ada jamu beras kencur, kunir asam, jamu pahitan. Kucing berkejar-kejaran di pinggir jalan, terdengar suara burung. Para pejalan kaki memenuhi jalan, sebagian menaiki sepeda. Hanya beberapa pengendara motor. Ada tukang becak sudah mangkal, menunggu penumpang dari pulang pasar, mengantar anak sekolah, atau membawakan barang dagangan dari pasar. Suasana itu begitu damai. Pagi hari nan cerah. Sri berjalan menuju sekolahannya, karena hanya lima belas menit dari tempat ia tinggal.
Perempuan itu menoleh, mencari-cari sosok pria bernama Adam. Dia belum melihat, apa pria itu gemar datang terlambat ke sekolah? Batin Sri ribut, dia merasa malu. Sudah susah-susah menulis di secarik kertas, ah, atau dibuang saja surat itu.
“Mana surat balasanmu.” Mendadak suara pria terdengar di belakang Sri. Adam, dia tersenyum lebar, dengan rambut baru disisir rapi, bajunya ia masukkan seperti pria culun.
“Eh?” Sri membalikkan badan, kaget. Spontanitas yang begitu wajar. “Kau? Menguntit diriku?”
“Tidak. Aku berjalan dari jalan sebelah timur, kau dari belokan sana. Jadi aku memang di belakangmu, kau tidak melihatku.”
“Ini!” Sri merogoh saku baju lantas langsung menyodorkan lipatan kertas ka Adam. Ia langsung berlari dengan muka memerah. Betapa gila, momen canggung itu seperti ditakdirkan di pagi segar dan cerah itu.
“Tunggu! Sri!” Adam langsung mengejar. “Sebentar. Ini, ini bawa!”
“Eh? Apa lagi? Aku sudah membalas suratmu.”
“Dan itu balasan suratku lagi.”
Gila! Sinting, pria di depannya amat sinting. Belum membaca surat, tetapi sudah mengirimkan balasan lebih dahulu.