Apa pun masalah di dunia ini, ada sebab musababnya, misal kerasnya hati kita sendiri, serta berbagai prasangka lain. Sri mendesah, dia tak tahu harus membalas apa, pembawaannya yang semula kalem, kini berubah jadi seperti orang tolol. Gemuruh di dada tak kunjung reda, hatinya berkeras mengabaikan, tetapi hati kecilnya tak bisa membungkam keinginan untuk tidak membalas surat dari Adam. Dengan wajah masam ia mengambil bolpoin. Tak ada lagi sanggahan, dia bermaksud membalas surat kedua dari pria itu.
Tampaknya ada tiga perasaan aneh setelah membaca puisi dari Adam. Pertama, dia tak mampu menanggulangi gejolak senang di dada, kedua, kenapa Adam seolah bisa mengerti isi surat Sri yang belum dibaca, tentu Sri jadi penasaran, ketiga, sudah pasti perhatiannya tak luput dari Intan, dia jadi merasa malu karena Intan membaca surat itu pertama kali.
Dunia ini kejam, Sri merasa ditipu habis-habisan oleh gelagat pria aneh itu. Namun kata-kata puitis membawa sejuta dampak, seperti anak panah ribuan jumlahnya, menghujam terus ke dadanya. Dia ingin menanggulanginya—agar perasaan itu tidak makin membesar, gede rasa begitu, kepalanya jadi ikutan tak karuan. Sri tahu, kalau kekaguman dari pria hanya kamuflase belaka, seperti kejadian yang sudah-sudah perihal percintaan. Kekaguman, pujian, sanjungan, selalu mendapat tempat spesial, pria seperti mendewakan semua itu, tanpa menilik kembali fakta atau nilai yang sebenarnya dari perasaan atau sifat wanita.
Sri bisa jadi pemberang, tetapi hatinya lembut, begitu meleleh menerima sanjungan serta perlakuan dari pria tersebut. Tak ada parameter, Sri sebetulnya bisa membatasi dengan berdalih ini atau itu, mengatakan kalau keluarganya melarang untuk berkenalan dengan pria bila masih sekolah. Fokus belajar saja, misal begitu. Namun agaknya masa-masa itu tak bisa dilewatkan begitu saja, orang tuanya zaman dahulu juga pasti mengalami gejolak masa muda seperti Sri. Masa-masa remaja, begitu terang, menyilaukan.
Kini dia tampak seperti gadis plin-plan. Awalnya penolakan itu kokoh bagai benteng, seakan tak bisa runtuh, tetapi sekarang tangannya sudah bergerak menulis surat lagi, membalas surat dari Adam. Besok pagi, dia akan melintasi sekolah Adam, tentu surat itu akan mendarat di tangan Adam. Apakah dia akan mendapat balasan lagi seperti tadi? Langsung, tanpa jeda, Adam peramal?
“Ada sebuah taman. Besok surat balasanku kuberikan padamu di sana. Di persimpangan dekat tambal ban, kau datang, aku bawa surat. Namun, kita duduk di kursi taman itu dahulu.”
“Hah?” Sri tak menyangka, ternyata tidak langsung mendapat balasan seperti kemarin pagi. Tetapi besok Adam ingin memberikan surat balasan langsung di tempat lain.
“Atau mau kencan di toko buku?”
“Aku belum mau berbelanja atau membaca buku.” Sahut Sri asal.
“Berarti di taman! Kencan pertama kita di sana. Kau datang atau tidak, aku tetap akan menunggu di sana sepulang sekolah. Terima kasih surat balasan ini. Aku akan membacanya dahulu.” Ucap Adam lantas menyeberang jalan, memasuki gerbang.
Sri terpaku, semalam dia juga sudah bersusah payah menulis surat itu, tetapi tak akan adil rasanya kalau tidak tahu tanggapan atau balasan dari Adam. Besok? Di taman? Gila, itu akan menjadi kencan pertama untuknya. Sri menyunggingkan senyum indah sembari melangkah menuju sekolahnya.
Liburan setelah lebaran memang meninggalkan beberapa kesan tersendiri. Saat itu Sri kembali ke Solo bersama kedua orang tuanya, menemui kakek nenek buyut. Saat itu Sri tidak ke Sulawesi, memilih tetap berlebaran di Solo dan Surabaya saja. Betapa bahagia Sri, ketika akan menjumpai sepupu-sepupu mereka, saudara-saudara dari pihak buyut di Solo. Sri, Pak Teguh, Bu Sundari, berangkat pagi-pagi menaiki mobil, lima hari sebelum hari raya, perjalanan tidak terlalu macet.
Sri ingat, mungkin begitulah rasanya bila hendak bertemu orang terkasih, saudara, atau sepupu karena sudah lama tak saling jumpa. Dahulu masih kecil, sekarang sudah besar semua. Ada tiga sepupu Sri dari pihak keluarga di Solo. Satu sepupu laki-laki, anak dari adik perempuan Bu Sundari yang bernama Rahayu—berparas cantik, mengenakan kebaya, semangat berdagang sayuran di pasar. Dua sepupu perempuan Sri, adalah anak dari kakak lelaki Sundari, nama kakaknya Sundari atau paman Sri, adalah Harmoko. Pria itu berkumis lebat, aktif dalam kegiatan kebudayaan di Solo, dan kerap mengikuti karawitan juga pentas wayang.