“Ada guru menyebalkan. Namanya Bu Ngatemi. Dia berperawakan besar, mengenakan baju besar juga, bibir selalu merah. Dalam beberapa kali, dia datang ke kelas dengan keadaan amat wangi, aroma parfum yang ia kenakan, membuat seisi kelas ingin bersin. Adam, ini surat ke enam darimu. Kau bilang dalam surat ini kau amat membenci guru tersebut. Memang seusia kita saat itu, rasa sebal dan tidak suka terhadap pendidik tak bisa dihindarkan. Entah karena metode mereka atau masalah lain. Namun, ini pertama kalinya dalam suratmu, kau membahas banyak hal. Kau bilang di dalam surat, bahwa setelah itu, kau kabur dari kelas, tak mau menerima pelajaran darinya. Kau bersama teman sekelasmu, di SMK itu, kabur menuju warung, di sana kalian bersembunyi. Memesan kopi panas lantas membiarkan guru menyebalkan tersebut kelabakan.”
Sri tak peduli, di taman itu ia akan tetap berkisah. Namun, ia ingat. Waktu makin panas, ia merapikan surat-suratnya. Beranjak dari kursi taman, mendorong Adam di kursi roda membawa ke mobil. “Kita pulang sekarang, ya. Besok aku akan ke sini ... eh, maafkan aku. Besok kita tak bisa bertemu. Mungkin dua hari lagi, aku akan ke Solo dahulu. Menemui ibuku, aku ingin menjenguk dia, karena tahun baru aku tak pulang.”
Adam mengerang, kepalanya menganguk-angguk, Sri kurang paham, apa keinginan pria tersebut. Apakah ingin minum lagi, buang air kecil atau apa. Ia tak tahu, polahnya seperti bayi tua, Sri beberapa detik panik, tetapi Adam kembali tenang. Kini mereka meninggalkan taman itu, kembali pulang.
“Bagaimana, Nduk?” Bi Ngatiyem menyambut penuh kehangatan.
“Tidak terlalu buruk. Adam mendengarkan semua kisah saya, serta surat yang saya baca, Bi!” Sri memapah Adam dari dalam mobil, membenarkan ia duduk di kursi roda lagi.
“Terima kasih. Semoga Adam lambat laun bisa kembali mengingat. Kembali pulih.”
“Ini, Bi!” Sri merogoh tas lantas menyerahkan amplop ke Bi Ngatiyem.
Wanita tua itu kaget, menerima dengan sungkan karena bila ditampik amplop itu akan jatuh. Bukan surat, tetapi beberapa lembar uang.
“Apa ini? Jangan begitu, Nduk! Simpan saja untuk keperluanmu.”