Menulis Ulang Ingatan

Yusuf Mahessa Dewo Pasiro
Chapter #17

Bab 16

Ada baiknya semua disingkirkan sekarang juga, pikiran-pikiran buruk, kasihan otakku. Sri mengatakan itu, lantas memacu mobil, ia sebisa mungkin berkonsentrasi penuh. Dari banyak kemelut di kehidupannya, ini adalah hari indah, ia akan menemui ibunya. Semua tak lantas membuat masalahnya hilang, tetapi dari sekian banyak prahara, sedikit teratasi bila menjumpai ibu, ada rasa tenang. Dalam setahun terakhir ia juga sudah jarang menetap lama-lama di Solo, dahulu, tepat pada 1995, sebulan setelah sang ayah meninggal, segalanya menjadi berbeda. Sri tetap tinggal di Surabaya, mencari pekerjaan di sini.

Dia tak bisa membayangkan, sekarang ibunya tinggal di desa, dikelilingi orang-orang penasaran. Lagi pula, itu kan desa. Wajar saja, sebab dia tinggal di tengah para tetangga-tetangga udik, gemar menggosip dan penuh kecurigaan. Meski Solo, tetapi bukan di bagian kota. Sri tetap membiarkan ibunya memilih kehidupan, dia sudah pasrah pada segala ketentuan pemilik hidup. Terlebih, kini Sri sudah memiliki pekerjaan, serta pemasukan pasif lain.

Pemandangan kala itu tampak baru, segar, membentang di sepanjang perjalanannya. Kurang lebih tujuh jam kalau lancar, karena belum ada tol. Menempuh jalan sejauh 160.000 mil. Dia menyetir dalam keadaan bugar, beberapa kali berhenti di tempat pengisian bahan bakar mobil, lantas mencari rest area, sudah jam lima sore, dia makan sekalian, menunggu magrib setelah beribadah, lantas melanjutkan perjalanan. Setiba di Solo, dalam keadaan sudah petang, Indarwati, tampak antusias menunggu kedatangan Sri. Dia sudah lama menantikan sepupunya itu. Harmoko pun, tak bisa menolak keinginan anaknya, dia mengizinkan Indarwati menginap di rumah buyutnya. Harmoko memang tinggal di tempat lain—sudah bahagia menjadi kakek-kakek, dengan cucu laki-laki menggemaskan, dia tinggal di Solo sebelah selatan—satu rumah dengan Indarwati dan suaminya, tetapi Harmoko kerap menjenguk Sundari. Karena Rahayu—tetap ngeyel, masih mau berjualan terus. Jarang menginap di joglo itu, karena juga punya rumah sendiri.

Semenjak kepergian Mbah Sapar dan Mbah Wirokromo. Joglo itu jadi berbeda suasana. Hanya ditempati oleh Sundari—dengan berani, tanpa rasa takut apa pun. Wanita itu memang kerap menyuruh anak-anak Harmoko untuk menginap. Namun, hanya Indarwati yang masih sering ke sana, karena dia membuka usaha menjahit serta jasa boga, jaraknya juga tidak jauh dari joglo. Katering sudah mulai marak—dalam hajatan, memang masih banyak piring terbang, tetapi tak sedikit pula orang-orang mengadakan hajatan dengan memilih memesan makanan siap jadi.

Hestiningrum ikut suaminya merantau ke Jakarta. Kehidupan memang terus berjalan, banyak kejutan di masa depan. Handoko sendiri jadi satpam di sebuah PT dekat pelabuhan, ia mengontrak rumah di sana bersama istri dan dua anak perempuannya. Rahayu, kerap dikunjungi Handoko bersama istri dan anaknya, kemudian, sepulang dari pasar, Rahayu akan mengajak main dua cucu perempuannya itu. Dari ketiga saudara—anak-anak kandung mendiang Kasiman, jelas hanya Sundari yang belum memiliki cucu. Namun, itu bukan masalah besar.

Sri memeluk Indarwati, wanita itu kini tampak makin gemuk, dia sudah memiliki satu momongan dari pernikahannya dengan pria mapan, seorang juragan sapi. Hanya Sri saja yang belum menikah. Lucu memang, Sri tersenyum, mentertawakan nasib hidupnya sendiri.

“Aku mau mandi air hangat pokoknya!” celetuk Sri.

“Tentu akan kusiapkan! Ayolah. Kau pasti lelah.” Indarwati melangkah penuh semangat.

“Di mana keponakanku?”

“Firdaus? Oh, dia di rumah bersama ayah dan kakeknya. Aku ke sini, mumpung dia tidak rewel.” Ucap Indarwati.

“Wah! Aku kangen melihat dia. Sudah pintar membaca sekarang pasti.”

“Ya. Tahun ini dia akan masuk TK. Dia menanyakanmu, katanya kalau sudah besar ingin bisa menyetir mobil sendiri sepertimu. Lagi pula aku tidak bisa menyetir.”

“Hahahaha!” Sri tergelak. “Lucu sekali dia. Terima kasih bantuanmu, ya. Rumah ini sudah berbeda suasana. Jarak lima sampai sepuluh tahun dalam hidup ini terasa sekali perbedaannya. Rumah ini sudah melalui berapa zaman? 1950, 1960, 1970, 1980, 1990, hingga kini berganti dekade, hanya direnovasi sekali pada 1983 silam. Sekarang sudah Tahun 2000. Benar-benar nuansa penuh perubahan. Kayu-kayunya kokoh dan kuat, ya.”

“Lagi pula kau tak bisa menghentikan waktu, kan? Ditambah, berhati-hatilah, sebentar lagi para tetangga tahu kau mampir ke sini, keesokan pagi pasti ramai, ada perawan tua menjenguk ibu.” Indarwati terkekeh.

“Biar saja. Ini kan desa? Wajar bila mereka berkata begitu. Tidak penting untuk kelangsungan hidupku, kan? Eh, ini.” Sri mengeluarkan sesuatu dari tas besar yang ia bawa. Tas itu berisi pakaian ganti, serta beberapa peralatan kosmetik, kini tangannya memegang kardus kotak berukuran lumayan besar.

Lihat selengkapnya