Menulis Ulang Ingatan

Yusuf Mahessa Dewo Pasiro
Chapter #18

Bab 17

Masih teramat pagi, Sri sudah siap, ia sampai rumah Bi Ngatiyem pukul 05.40, dia membawa Adam menuju taman, hawa tidak dingin, iklim bersahabat. Hari itu, pagi amat cerah. Sri duduk di taman lagi, menemani Adam, bercerita pada Adam. Membacakan surat untuk Adam.

“Sehari yang lalu aku baru dari Solo, menemui ibuku. Dia tinggal di sana, di rumah joglo milik mendiang kakek buyutku. Oh, ya. Adam, kau mau sarapan roti dahulu?” Sri menatap ke arah Adam, tidak ada respons seperti sebelum-sebelumnya. Namun, Sri tetap menguatkan diri, menarik napas dalam-dalam, ia tak bisa berharap Adam akan merespons dengan cepat, orang yang kehilangan memori, memang begitu problematik. Namun, kali ini seakan ada ketenangan. Adam tak banyak bertingkah, tidak membuat Sri kerepotan.

“Adam. Ada lagi surat darimu, akan kubacakan satu-satu, secara bergantian, aku juga akan menyelingi dengan cerita atau kisah-kisah lainnya agar kau terhibur. Aku masuk kantor setengah delapan, jadi ada waktu sekitar satu jam setiap pagi untuk berbincang. Atau mungkin bisa kita lanjut sore hari. Aku akan rutin ke sini, setiap hari, eh ... tunggu, tidak harus setiap hari. Seminggu tiga kali atau empat kali juga tak masalah. Dengan senang hati aku akan selalu membantumu. Aku belum bercerita, ya? Perihal pria bernama Damar, dia sampai mencari informasi tentang dirimu, pascakejadian kecelakaan kereta itu, banyak berita simpang siur, ada berbagai kisah mistis, dan juga banyak lagi konspirasi. Namun, hingga aku bekerja di sebuah kantor surat kabar, rekanku itu, mau membantu untuk mencari arsip-arsip, berkas berita atau apa saja mengenai keberadaanmu. Namun dia sudah berusaha keras, belum menemukan titik terang, justru aku sendiri yang bertemu secara tidak sengaja di rumah sakit. Bi Ngatiyem ternyata bilang, kalau rumah di Jakarta ternyata sudah dijual setelah kau mengalami kecelakaan itu, kalian lantas tinggal di rumah kakek yang ada di Surabaya. Ternyata kalian dekat dengaku, aku tak tahu tentang itu. Hanya kebingungan mencari-cari dirimu. Rumah kakekmu tadinya disewakan, ternyata aku tak tahu. Karena kau belum pernah bercerita perihal rumah kakekmu. Yang kutahu kalian ke Jakarta untuk menghindari dan mengurus masalah penting—kau pasti paham. Karena itu sebenarnya masalah yang ditinggalkan oleh mendiang pamanmu.

“Adam. Mengapa kau menjadi begini, entah ini karena kelainan genetik, atau ada sesuatu pada kepalamu, atau karena trauma dalam hidupmu. Aku ingin membantumu, kau harus ingat semuanya. Rasanya amat hampa, selama ini aku selalu menantikan kedatanganmu, aku merindukanmu. Kau—senyumanmu, juga semua canda tawamu. Rasanya tak ada yang bisa memberi ketenangan selain melihatmu. Saat ini aku sudah mulai tenang, karena kau ada di sini, di sisiku. Dekat denganku, meski dalam keadaan berbeda. Lantas, rasa iba atau sesal yang harus kucurahkan padamu? Tentu tidak, ini rasa sayangku padamu. Kau paham maksudku, kan? Ah, baik. Aku ada surat lain, ini tentang surat-surat darimu. Beberapa sudah kubacakan sampai surat keenam darimu, kau berkisah tentang guru menyebalkan di kelasmu. Kini aku akan menceritakan kisah kita, aku tak akan membaca surat dahulu. Namun ini adalah kisah kita berdua di taman dekat sekolah kita.

“Kau boleh menyimak saja, tak usah merespons apa pun. Aku tak akan pernah lelah berkisah untukmu. Di taman ini, aku menemukan kedamaian, ketenangan, di tengah banyak manusia lainnya, aku cuek dan tak peduli. Karena misi besar, yaitu untuk membantumu pulih seperti sedia kala. Dan ... ya, kata Ratna, dia teman kerjaku, di kantor sama. Dia bilang tentang kiamat, bahkan bertanya jika kiamat terjadi, apa keinginan atau hal yang mau kulakukan, saat itu kujawab padanya, kalau aku hanya ingin bertemu dirimu lagi. Alam, Tuhan, serta keadaan ini menuntun diriku untuk bertemu dirimu lagi. Baiklah, kau dengarkan saja, ya. Di taman itu adalah awal kencan pertama kita. Aku masih begitu terkenang, kau benar-benar pria unik.”

 

Hari tampak lebih cerah, pepohonan menyambut Sri yang berlari menuruni undakan depan rumah, setelah nyaris tersandung kaki kursi di selasar rumah. Dia buru-buru berangkat sekolah, ingin segera menyelesaikan kegiatan di sekolah hari itu, lantas pulang. Tentu saja ada tujuan lain, di taman.

“Kutahu kau akan datang.” Adam menyambut. Siang itu amat menggembirakan.

“Aku terpaksa datang.”

“Aku tahu kau tidak terpaksa, karena wajahmu begitu senang dan bahagia. Kau pasti menantikan momen ini.” Adam tersenyum. Remaja itu tampak semringah.

Dengan ketegasan di wajah Sri, gadis itu berjalan mendekat ke arah Adam. Ia menengadahkan tangan. “Mana balasan surat untukku?” Sri menanti dengan menggebu—tampak jelas dari sorot matanya.

“Sesuai kesepakatan, kita akan kencan dahulu di taman ini. Setelah itu kau akan mendapatkan hakmu.”

“Baiklah. Aku tidak bisa menolak, kan?”

“Kau bukan tidak bisa, tetapi tidak mau.”

Lihat selengkapnya