Sekembalinya dari Solo, meski tetangganya banyak yang berperangai menjengkelkan, dia tak bisa memprotes. Karena tabiat dan watak mereka telah melekat, lagi pula itu hanya angin lalu. Tidak Sri ambil pusing perihal mereka yang selalu mencampuri urusan pribadi Sri—kapan nikah, kenapa tidak segera mencari suami, ikut biro jodoh, serta lain sebagainya.
Menjunjung kebudayaan seperti itu tak akan pernah memuaskan, melelahkan, budaya menggosip, mencibir, menggali-gali informasi negatif orang lain, menyebarkan, bahkan berita salah saja tersebar amat cepat melalui mulut, anehnya banyak dari mereka memercayai.
Ia kembali ke Surabaya, menemui Adam lantas berbicara di taman. Setelah itu Sri menuju kantor. Di kantor, suasana lebih keruh lagi ketimbang saat ia datang ke Solo. Sri disambut Ratna dan langsung terserang berbagai ocehan. Bibir Ratna seperti mesin pabrik, terus nyerocos, berbusa-busa. Sri hanya memasang wajah santai sambil tersenyum.
“Pokoknya, kalau ada masalah lagi di bagian akhir naskah, kau ubah sendiri. Karena kebutuhan tempat di halaman koran amat terbatas. Sri, kenapa diam saja, setidaknya jawab.”
“Bagaimana mau menjawab, sedangkan kau merepet terus seperti burung.” Sri menarik kursi lantas duduk menyalakan komputer di meja kerja kantor.
“Maaf-maaf! Habisnya kau sudah izin tidak masuk terlalu sering. Aku jadi keteteran, banyak beban kerja tambahan.”
“Nanti siang aku traktir makan, sekarang lanjutkan pekerjaan dahulu. Terima kasih sudah membantu.”
“Oke!” Ratna seketika langsung mengacungkan jempol. Dia paling gampang disuap, suasana hatinya langsung biasa lagi.
Ada pesan di gawai, tak Sri buka. Ia malas, bahkan tak menyentuh gawai semenjak menuju Solo. Kini ia membuka surel di komputer, ternyata sama saja, pesan masuk amat banyak, ada sekitar delapan pesan baru. Paling atas Damar.