“Sri aku marah! Ingin memukuli siapa saja, siapa pun yang rela kepalanya untuk aku bogem. Saat ini, menyalurkan kemarahan adalah hal penting!”
“Damar! Dengarkan aku dahulu! Ada tiga perkara, kau harus tahu. Pertama, aku minta maaf karena tidak memberitahumu. Kedua, kau juga harus meminta maaf karena menguntit diriku, ketiga—tolong bantu aku sekali lagi!” Sri mengatur nada bicaranya, berharap tidak salah ucap.
“Sebentar! Beri aku waktu sebentar. Ah! Kau punya rokok?”
“Tidak.”
“Kopi? Atau apa saja! Maaf membuatmu takut.” Damar mencoba menenangkan diri. “Maaf, aku minta maaf karena menguntitmu. Aku tidak sampai Solo, hanya kebetulan kau baru pulang dari sana aku ada di dekat sini. Kemudian aku memutuskan untuk menunggumu bersiap—dengan harapan akan mengejutkanmu, aku ingin mengajakmu ke kantor bersama. Maka aku memutuskan pagi-pagi menunggu dirimu di sini. Belum ada jam enam, kau sudah pergi. Aku mengurungkan niatku, dan ... selebihnya kau tahu. Aku melihatmu di taman dengan pria. Aku tidak mendekat, hanya dari jarak jauh.”
“Benar. Tak apa. Aku juga saat itu masih ragu untuk memberitahumu. Maaf karena menundanya, kupikir kau akan tak peduli, jadi tidak perlu tahu, atau ah, aku saat itu benar-benar masih bingung.”
“Sudah. Tak masalah.”
“Baiklah. Terima kasih. Aku akan membuatkanmu kopi dahulu. Maaf karena belum sempat, karena kau langsung menyerangku dengan berbagai pertanyaan tadi.”
Sri ke dapur, menyiapkan kopi secangkir lantas kembali ke teras. Mereka berdua mengobrol serius lagi. Angin malam mulai terasa dingin. Suara jangkrik amat nyaring saling bersahut-sahutan. Beberapa kali juga terdengar suara burung tuhu. Damar menyesap kopi lantas mendesis sejenak. Dia memejamkan mata sebentar, mengeraskan rahang, lantas melemaskan otot-otot wajahnya, ia memandang ke arah Sri.
“Jadi kau tak sengaja bertemu dia?”
“Iya. Adam saat itu di rumah sakit. Sudah kondisi begitu. Seperti yang kubilang tadi, kalau memorinya terganggu.”