Selasa, 29 Juli 1986
Sri Tersayang.
Aku sudah membulatkan tekad, akan terus memanggilmu begitu di awal surat sebagai salam pembuka. Aku sengaja mengirim balasan ini pada Selasa. Karena tahun ajaran baru 1986/1987 membuatku keteteran. Aku sudah kelas dua, kau juga, masa-masa ini cukup serius, karena selain pelajaran, aku juga fokus kegiatan lain. Terima kasih balasan suratmu, kau sudah melayangkan dua tuduhan padaku. Pertama kau menganggap ini hanya cara iseng untuk menarik simpatimu, kedua kau menganggap pembunuh pamanku masih menyimpan dendam dan aku dalam bahaya. Tuduhan pertama salah, sedangakn tuduhan berbalut prasangka kedua kau mungkin benar tetapi bisa saja meleset. Pertama, aku tidak mengarang cerita, kedua memang bisa saja pembunuh itu mengincar anggota keluargaku lainnya. Paman memang tidak menikah, sehingga semua warisan ia wariskan ke bibi—adik perempuannya yang masih hidup. Kedua orang tuaku memang sudah lama meninggal—kau pasti kaget.
Aku akan membatasi, tidak bercerita semua. Ibumu bilang—seperti yang kau tulis di dalam surat sebelumnya, kalau aib atau masalah keluarga tak perlu diceritakan. Aku akan berkisah tidak banyak-banyak. Ayah dan ibu sudah meninggal, itu saja. Kau tak perlu melayangkan tuduhan atau menerka-nerka apa pun lagi. Aku hanya menjelaskan sampai situ saja, aku yatim piatu. Itu saja. lantas, keluarga kami sebetulnya berlimpah kasih sayang. Hanya saja, masalah datang bertubi-tubi. Aku bisa melupakan kesalahanmu karena menuduhku mengarang cerita, sebab kau mau berbagi juga padaku. Maaf atas masalah yang pernah menimpa keluargamu. Memang orang tua ingin selalu dekat dengan anak mereka, jadi wajar bila kakekmu yang di Sulawesi meminta agar ibumu tinggal di sana saja.