Sundari memperhatikan tingkah putrinya, sedari tadi mondar-mandir, ia tampak gelisah. Hari ini surat dari Adam datang, tetapi sebelum menerima surat itu, Sri sudah menyiratkan kalau dia tidak sabar. Kegelisahan itu terpancar dalam sikapnya. Ibunya, memandang dengan tulus. Cukup membuat penasaran, tetapi saat mendadak terdengar suara decitan dari sepeda tukang pos, Sri langsung berlari keluar, ia menuju kotak surat di depan rumahnya, dekat pohon bunga lidah mertua. Kotak surat itu menatap Sri, sedangkan pak pos kembali melanjutkan pekerjaan mengantarkan surat-surat lainnya.
Nomor rumah Sri jelas, rumahnya juga terletak di pinggir jalan, jadi memudahkan dalam pengantaran surat oleh tukang pos. Anehnya, saat bertanya ada apa, Sundari tak mendapat jawaban memuaskan dari anaknya itu. Tingkah remaja pada umumnya, pikir sang ibu. Sri buru-buru menuju kamar, dia menutup pintu lantas bersiap membaca surat yang baru ia dapat.
Dari Adam—surat yang selama beberapa hari ini ia tunggu-tunggu. Sri buru-buru membuka, mengeluarkan selembar kertas dari dalam amplop. Ada prangko tertempel di bagian luar, cap pos, aroma amplop serta bau kertas khas menusuk-nusuk hidung. Inikah rasanya menerima surat dari orang yang sedang jauh dari kita? Ini surat pertama khusus untuknya—sebab ia hanya melihat bila dahulu ayah dan ibunya kerap menerima surat dari orang jauh, atau sahabat pena mereka. Alamat mereka tersimpan di dalam catatan para rekan-rekan dengan baik. Saat pesta pernikahan, sahabat-sahabat ibunya juga meminta agar diberi alamat baru. Hal itu sungguh terjadi, dan Sri mendengar kisah tersebut kalau dahulu ada surat datang terlambat, karena salah kirim.
Sundari mengirimkan surat menuju ke Purwodadi daerah Jawa Timur, justru tersasar sampai Purwodadi, Grobogan di Semarang. Surat itu salah tiba, kesalahan teknis ini memang beberapa kali terjadi. Tidak masalah. Mengingat kisah ibunya dahulu, Sri ingin segera menulis surat balasan dan mencoba menuju kantor pos sendiri untuk mengirim surat ke Jakarta.
Jakarta, 5 September 1986