Sri memandang ke arah Damar lekat-lekat. Hatinya seperti copot, kepalanya bagaikan dihantam gandin titan. Lebih mengejutkan, dalam jeda hening itu, Damar justru tampak makin kesal.
“Aku tidak pernah bercanda tentang hal seserius ini!”
Sebelumnya, setelah satu bulan Damar mendekati Intan, mereka tampak akrab, bisa menjalin hubungan baik, Intan suka Damar, dan Damar nyaman berbincang dengan Intan. Namun, kali ini, selain menyakiti Ratna dan Intan, Damar telah memberi pengakuan amat mengejutkan. Ini bukan muslihat, Sri tidak melihat dendam, tipu daya, atau apa pun di dalam sorot mata pria itu. Deru mesin kendaraan melintas beberapa kali, suasana restoran itu cukup lengang, tidak banyak pengunjung.
“Kau bajingan, Damar!” Sri menaikkan suaranya.
Tiga hari lalu, bahkan Sri tahu betul, mengira kalau Damar akan benar-benar menambatkan hati pada Intan. Setelah berkenalan cukup intens, meski awalnya Intan meragukan. Namun, satu bulan berlalu. Dan kini, Damar benar-benar terombang-ambing.
“Aku sudah melihat dirimu, ikut menemui Adam. Aku mengerti keadaannya, kurasa itu tidak memberi harapan apa pun. Ruang hatiku berkata begitu. Jika ini adalah penolakan dirimu, begitu hina, aku benar-benar marah, Sri!”
“Seharusnya aku yang marah padamu! Kau menghina diriku, bahkan menginjak-injak perasaanku, bahwa kau tahu, aku begitu berharap Adam akan pulih seperti sedia kala, ia akan mengingatku.”
“Sudah kubilang! Aku jatuh cinta padamu! Tidak ada perasaan sebagai seorang sahabat. Kali ini aku membuat pengakuan.”
“Aku ingin menamparmu, Damar! Kau tidak ingat bagaimana Ratna menangis? Ketika kau memutuskan untuk mengencani Intan? Kemudian? Tiga hari lalu! Intan benar-benar putus asa. Dia merasa hidupnya hancur, kacau, seolah tidak ada laki-laki tepat dalam hidupnya. Bagaimana kalau dia tahu, kau justru mengatakan hal tadi padaku? Mengatakan mencintaiku?”