Ada tawa-tawa jahat dalam hidup, kegundahan dari semua manusia, kekejaman itu amat menyebalkan—kalau dipikir-pikir, aku terlalu terlena dengan semua hal yang ada di dunia ini. Mungkin ungkapan itu tepat bila dilekatkan pada posisiku sekarang dalam menjalani hidup. Betapa mengerikan, saat semua terasa abu-abu, buram, seperti ingatan dalam kepala manusia yang mengalami demensia atau kepikunan. Masih terekam jelas, saat-saat dahulu aku mengurus surat, menempel prangko-prangko menjadi koleksi, ada juga edisi baru, keluaran prangko yang cukup unik. Seri tempat wisata, seri pahlawan serta sebagainya. Dalam surat yang dikirim Adam pertama saat di Jakarta, tidak kujumpai kegelisahan, atau kemarahan yang kental. Hanya keluh kesah biasa terkait hiruk pikuk kota.
Kalau kau mau, aku bisa membacakannya untukmu lagi, Adam. Oh, dia tidak merespons, tak akan pernah merespons. Hening, beberapa detik kami bernapas dalam irama tenang, aku melanjutkan menjelaskan tentang kekesalanku terhadap Damar yang seenak udel mempermainkan perasaan wanita. Namun, tak kusangka, kau tiba-tiba mengatakan sesuatu. Taman, terucap dari mulutmu, Adam.
Ini adalah kemajuan, tentu menjadi kejutan istimewa bagiku. Barangkali selangkah demi selangkah, kau bisa mengingat semua dan berbicara normal. Tentu itu harapanku. Kalau di dunia ada keajaiban, alam raya dan kekuatan Tuhan, telah menunjukkan mukjizat itu, kau tadi berucap satu kata di depanku. Dan aku mendengar dengan jelas. Justru sekarang, kegelisahan dan kemarahanku terhadap Damar menjadi reda karena begitu bahagia menyambut ucapan dari bibirmu.
Tidak ada status sosial di dalam hubungan kita, kau berada sejajar denganku Adam. Kita bukan keturunan ningrat, bukan bangsawan, tetapi aku akan tetap menerima dirimu sebaik-baiknya manusia memperlakukan manusia lainnya dengan penuh welas asih. Ya, aku tak bisa memungkiri kalau masih marah pada Damar. Dia memperlakukan seperti aku ini adalah wanita tidak punya pendirian atau harga diri. Namun keputusanku tetap kukuh, aku pasti mendampingi dirimu, sampai kapan pun.
Aku mohon, sekarang ucapkan lagi kata-katamu, tentang taman, atau surat, atau apa saja. Aku tak akan memukabalahkan dirimu di masa remaja dengan kondisi sekarang, hanya saja, tolong bicaralah lagi. Ah! Sia-sia, masih terasa jauh dari harapan, tak mungkin Adam bicara lagi, butuh waktu untuk kembali normal seperti sedia kala. Dia harus bangkit, setidaknya aku tak akan lelah membantunya, untuk mengingat semua yang telah lalu. Ketenangan, segala pertentangan, kebahagiaan, kesedihan, semua pasti akan silih berganti. Tidak akan selamanya menetap bertakhta di hidup kita, aku yakin itu.
Tampak capung melayang, terbang di dekat kepala Adam, lantas menjauh, angin masih berembus, bumi juga tetap berganti hari. Namun, kenangan antara aku dan Adam sudah berhenti, membeku, kenangan indah kini berisi kehidupan perih, lika-liku, penuh kedukaan. Menjejak segala pasrah, lahir dari belanga kasih, dipeluk aral serta kemelut jiwa. Aku menapaki segalanya, memandang dari yang telah lalu hingga masa depan, banyak bayangan, pertempuran antara diri sendiri membuat diriku dikerdilkan, terlempar di jalanan penuh bebatuan lancip serta duri. Nasib ini begitu sial, takdir bertentangan dengan apa yang kudoakan.
Tak boleh, aku tak boleh mengeluh. Pasti aku akan meraih sebuah kedamaian, entah kapan, waktu akan membuktikan. Masih ada kepasrahan dalam dadaku, kutatap lagi wajahnya, sebagaimana jalan lebar yang telah terlewati menjadi masa lalu. Aku berpacu dengan waktu, usia, dengan segala pertentangan serta cacian hidup. Tolonglah, Ya Tuhan! Aku mohon, kembalikan ingatan Adam.