Surabaya,
Senin, 15 September 1986
Aku bangun keesokan harinya, dengan berbagai beban di pikiran, perasaan tak enak merongrong diri. Sekadar ingin tahu keadaanmu, tetapi suratmu baru terbalas sekarang, aku ingin menulis beberapa hari lalu. Namun, ada perasaan menganggu setelah membacanya. Adam, butuh waktu untuk berkirim surat begini, tetapi aku senang, karena jadi punya koleksi prangko-prangko indah dan unik. Agaknya, selain koleksi buku, mainan, atau barang antik, mengoleksi prangko adalah suatu hobi yang bisa dibanggakan. Aku sudah mendapat seri baru, karena dicetak tahun ini. Meski masih kebanyakan gambar Soeharto. Namun, prangko-prangko ini menjadi pengalih kesedihanku, penyemangat setiap kali aku hendak membalas suratmu.
Terima kasih sudah memberitahuku perihal keadaanmu di Jakarta, serta suasana di sana. Benar, aku harus selalu rajin beribadah agar mendapat berkah dan ketenangan dalam hidup. Adam, kalau sampai lima hari surat ini belum sampai padamu, berarti rindu akan makin menggumpal di dadaku, karena kau akan menulis lebih lama. Mungkin justru mengabaikannya, aku tahu, ada ketakutan-ketakutan semacam itu. Takut bila kau mendadak tak mau lagi membalas surat, memiliki pikiran jika itu hanya membuang waktu. Namun, bukankah ini terlalu buruk, kenapa pikiran itu muncul di kepalaku. Dalam benak, ketika pertama membaca surat yang kau tulis dari Jakarta, aku membatin, ternyata benar—kita masih bisa berkomunikasi, saling terhubung melalui surat.
Oh, aku teringat dengan tukang kebun sekolahku, dia terkena kujang, tangannya berdarah-darah amat banyak saat merapikan rumput di kebun. Rasa sakit, benar, itu pasti amatlah sakit. Seperti jarak, mampu membuat manusia merasakan sakit, jarak juga bisa melahirkan kerinduan yang berguam di dada insan pecinta. Kalau ada harapan-harapan dalam hidup, tentu aku sama denganmu, berharap kau sehat dan selalu bahagia.
Perihal bibimu, aku turut bersimpati. Mungkin itu jalan hidup yang terbaik untuk dirinya. Jadi, selama kalian aman, tidak apa. Kau boleh berbagi padaku di dalam surat. Ah! Tentu saja, aku suka taman. Apa pun keinginan dan impianmu, wujudkanlah. Jika ada taman indah terwujud karena kau buat, aku akan senang mengunjungi taman itu setiap hari. Bila nanti kau kembali ke Surabaya, kabari aku. Aku akan membantumu membuat taman itu, atau bisa memilihkan bunga-bunga yang cocok untuk ditanam di sana. Oh, semua jenis bunga tentu akan cocok berada di taman, tetapi beberapa tidak pantas, seperti bunga bangkai. Janganlah ditaruh di taman bunga itu. Kau bisa menanam melati, mawar, atau anyelir, bahkan bunga krisan seperti bunga yang kau selipkan di dalam suratmu.
Adam, ada pemaknaan dalam setiap tingkah di kehidupan ini, benda, makhluk, serta kejadian. Bunga pun juga memiliki arti-arti tersendiri, bunga mawar merah, bunga melati, bunga kemboja, bunga sepatu, bunga srigading, semua punya makna falsafah tersendiri. Ada bunga yang melambangkan keceriaan, melambangkan kesedihan, atau bunga lambang cinta dan lain sebagainya. Aku pasti menantikan taman itu, kalau kau sudah membuat taman—segera ajak aku ke sana. Dan jangan terlibat pada hal mengerikan, merugikan, seperti tawuran atau apa saja. Jadilah pria baik, jangan berurusan dengan preman, apa lagi di Jakarta, pasti banyak kekacauan, kan? Tetap jaga diri.